Senin, 02 Mei 2011

HARI HAKI SE-DUNIA


BARONG RAKSASA,
RAMAIKAN HARI HAKI SE-DUNIA

Dalam rangka memperingati hari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) se-dunia (26/4) tahun ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Coaboration of Ecology and Centre Information to Us (Celcius) yang bergerak di bidang lingkungan dan seni budaya Jepara kembali menggelar acara seperti tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk tahun ini pelaksanaan acaranya sangat berbeda dengan biasanya.
Selain mengisinya dengan pameran patung, gelar sastra, musik, dan teater acara yang digelar selama tiga hari di Taman Asah Asih Asuh depan Museum Kartini Jepara ini juga menampilkan pertunjukkan Barong Dencong (barongan)berukuran super besar. Kepala barongnya saja berukuran lebar 5 m dan tinggi 5 m kemudian panjang badan menggunakan kain sepanjang 15 m, total panjang 17 M. Barong raksasa ini dimainkan 17 orang, 10 orang mengangkat bagian kepala dan 7 orang lainnya di bagian badan barong. Di atas barongan raksasa tersebut, LSM Celcius juga membentangkan spanduk sepanjang 152 m tanpa putus berisikan tulisan tentang kepedulian terhadap karya budaya lokal dan seruan upaya penuntasan kasus pelanggaran Hak Cipta Mebel Ukir oleh orang asing yang belum tuntas sejak tahun 2005 lalu.
Barong raksasa ini dibuat oleh Didid Endro S bersama 4 orang anggota Gaperto Art Community (GAC) dari bahan kayu pohon LO selama tiga bulan proses. Satu bulan pertama digunakan untuk pemilihan bahan dan pengeringan, dua bulan untuk proses pembutananya Sengaja menggunakan bahan kayu ini karena selain ringan juga tidak mudah patah.

Pelanggaran Hak Cipta
Pentas barong raksasa, pameran patung, pagelaran sastra, musik, dan teater tersebut sengaja diagendakan oleh LSM Celcius untuk mengingatkan serta mendorong pada seluruh pihak terkait dengan terjadinya pelanggaran Hak Cipta terhadap karya budaya masyarakat Jepara berupa Mebel Ukir yang dilakukan oleh pengusaha asal Inggris yang dikawalnya sejak tahun 2005 lalu.
Menurut Ketua LSM Celcius, Didid Endro S, sebenarnya jika semua pihak memiliki komitmen terhadap perindungan dan pelestarian Karya Budaya masyarakat, kasus tersebut tidak sampai berlarut-larut. Akan tetapi, lanjut Didid, dalam upaya penuntasan kasus tersebut banyak faktor yang mempengaruhi sehingga menjadi terhambat bahkan dapat dikatakan terhenti.
Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah benturan antara kepentingan kapitalis dengan kebijakan pemerintah yang memunculkan rasa kekhawatiran atas hilangnya investasi asing terhadap industri mebel ukir di Jepara. Padahal, antara kepentingan masyarakat lokal sebagai penyedia karya budaya dengan kepentingan pemanfaatannya harus seimbang. Jika tidak, tentu akan terjadi eksploitasi yang berlebihan dan menghilangkan nilai-nilai karya budaya warisan leluhur tersebut.
“Kami sangat setuju adanya investasi. Tapi bukan berarti investasi tersebut harus meraup seluruh akar budaya yang ada. Kami hanya menginginkan adanya keseimbangan antara kepentingan masyarakat lokal sebagai penyedia karya budaya dengan kepentingan pemanfatan nilai ekonominya. Tidak lebih”, tegas Didid.
Selanjutnya, Didid mengharapkan adanya sikap tegas dari Pemerintah sebagai pemegang Hak Cipta atas karya budaya masyarakat (folklor) serta perilaku adil dari penegak hukum demi kepentingan masyarakat Jepara dan seluruh bangsa Indonesia. Selain itu, menurut Didid Endro S, substansi kasusnya juga sudah jelas. Yakni diterbitkannya Hak Cipta atas Buku Katalog mebel ukir dan substansi perlindungannya hanya pada bukunya saja. Tidak meliputi isi di dalamnya sebagai obyek perlindungan Desain Industri.
Selain itu, Didid Endro S bersama LSM Celcius juga sudah berkali-kali datang di Kantor Dirjen HAKI Pusat dan mendapat penjelasannyapun sama. Tetapi kenapa pemilik Hak Cipta atas katalog tersebut memaknainya berlebihan hingga pada Hak Cipta atas isi berikut Desain Produknya sehingga ketika ada orang Jepara yang membuat produk seperti yang ada dalam katalok tersebut dilaporkan ke Polisi dengan tuduhan penjiplakan Hak Cipta?.
Kemudian, atas nama Pelapor, Didid juga sangat menyayangkan sikap Polres Jepara yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) terhadap Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Christopher Guy Harrison sebagai tersangka, yang mana surat DPO tersebut juga diterbitkan oleh Polres Jepara sendiri beberapa tahun sebelumnya dan belum pernah ada penangkapan terhadap tersangka.
Menurutnya, inilah faktor lain yang menghambat penuntasan kasus tersebut. Dia beranggapan bahwa pihak kepolisian kurang memahami betul tentang substansi Hak Cipta khususnya karya budaya masyarakat setta dampak lain akibat dari eksploitasi dan komersialisasi oleh pihak asing. Terlebih sampai pada pencabutan DPO dengan menerbitkan SP-3.
“Saya sangat kecewa dengan sikap ini. Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya komitmen dari Polres Jepara terhadap upaya perlindungan dan pelestarian karya budaya masyarakat. Apalagi sampai terbit SP-3. Semua orang juga tahu bahwa DPO itu tidak akan hangus selama belum ada penangkapan dan pemeriksaan. Polisi juga tahu itu to. Tapi kenapa dilakukan? Ada apa sebenarnya?” tandas Didid.
Kekecewaan LSM Celcius tersebut bukan tidak beralasan. Pasalnya, beberapa bulan sebelum diterbitkannya SP-3, pihak polres masih memberikan pernyataan tertulis bahwa sampai hari ini Christopher Guy Harrison masih tercatat sebagai DPO Polres Jepara. Kemudian secara tiba-tiba terbit SP-3 dengan alasan kurang cukup bukti.
“Kalau hanya mengatakan kurang cukup bukti, kenapa harus menunggu beberapa tahun? Toh belum ada penangkapan dan pemeriksaan terhadap pelaku. Kalau hanya karyawan yang diperiksanya, ini sangat tidak masuk akal. Karena mereka tidak memiliki hak apapun terhadap terlapor”, jelasnya
Kemudian faktor lainnya adalah muncul dari pihak Dirjen HAKI yakni awa berkas pengajuan Permohonan Hak Cipta Harrison dinyatakan hilang. Menurut Didid, hal ini merupakan penghianatan terhadap seluruh bangsa Indonesia. Karena, masyarakat sudah memberikan kepercayaan kepada pihak Dirjen HAKI terkait dengan perlindungan Hak Cipta karya budaya masyarakat. Tentunya tidak hanya Jepara melainkan seluruh bangsa Indonesia.
Dari itu, Didid Endro S menyatakan, tahun 2011 ini merupakan tahun terakhir penuntasan kasus tersebut. Pihaknya berharap seluruh pihak yang terlibat dalam penuntasan kasusnya, dapat memahami bahwa mebel ukir merupakan nafas kehidupan masyarakat Jepara sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Dia juga mengharapkan kesadaran dari seluruh masyarakat Jepara atas arti pentingnya Hak Cipta karya budaya demi pencitraan produk mebel ukir Jepara. ***

Tidak ada komentar: