Senin, 02 Mei 2011




PERINGATAN HARI HAKI SE-DUNIA
LSM CELCIUS Jepara ciptakan barongan raksasa, pentas seni dan seminar lesehan terbuka selama tiga hari di taman kota alun-alun jepara

"Kenapa penuntasan kasus pelanggaran Hak Cipta mebel ukir Jepara mandeg begitu saja?"
Mari bergerak bersama baik daerah maupun pusat melindungi dan melestarikan karya budaya bangsa.
Dirjen HAKI tentunya juga harus lebih selektif dalam menerbitkan Daftar Ciptaan terkait dengan folklor masyarakat Indonesia.
SALAM SATU JIWA, JEPARA KOTA UKIR
Kami butuh perlindungan dan keadilan

Rekomendasi Hasil Seminar Hari HAKI















Hari HAKI Se-Dunia
Refleksi 5 Tahun Kasus Pelanggaran Hak Cipta Mebel Ukir Jepara
26 April 2011


Mebel ukir adalah merupakan salah satu karya budaya masyarakat Jepara warisan nenek moyang yang sejak berpuluh bahkan beratus tahun lalu berkembang di Jepara, maka disebutlah sebagai folklor masyarakat Jepara. Selanjutnya, karena semakin pesat perkembangannya, industri mebel ukir mampu menembus pasar internasional sehingga secara signifikan mampu mendongkrak perekonomian masyarakat.
Kendati demikian, perkembangan mebel ukir tersebut tak lepas dari ancaman, baik dari masyarakatnya sendiri maupun dari pihak asing yang memanfaatkan karya budaya untuk kepentingan ekonomi yang berdampak pada menurunnya produktifitas industri mebel ukir.
Berbagai ancaman yang datang dari dalam Jepara sendiri diantaranya adalah kurang konsistennya masyarakat perajin yang tidak bisa menjaga kualitas, baik kualitas produksi maupun managemen pemasaran. Sehingga para pembeli (buyer) sering kali merasa “terbohongi” oleh perajin Jepara. Selain itu, ancaman lain adalah tidak adanya kebijakan pemerintah secara riil terhadap upaya perlindungan dan pelestarian terhadap karya budaya masyarakat berupa mebel ukir tersebut.
Hal ini terbukti bahawa sudah beratus tahun lamanya mebel ukir berkembang dna membudaya di Jepara, sampai hari ini belum ada regulasi atau Peraturan dalam bentuk apapun yang mengatur tentang industri khususnya mebel ukir. Sehingga masyarakat perajin sering kelabakan ketika bahan baku kayu (khususnya jati) secara tiba-tiba harganya melambung tinggi dan semakin sulit didapatkan sementara harga barang hasil produksi justeru mengalami penurunan dan para buyer/broker semakin banyak yang “keluyuran” masuk di perkampungan tanpa prosedur yang jelas. Padahal selain mebel ukir, di Jepara masih banyak lagi industri-industri lain yang berkembang dan berbasis kebudayaan lokal.
Sedangkan beberapa ancaman yang datang dari pihak luar (asing) diantaranya adalah munculnya buyer/broker nakan yang mulai mempermainan harga bahkan sampai pada komplain-komplain kualitas yang berdampak hilangnya produk-produk yang telah dikirim tanpa dibayar. Kemudian dampak buruk yang lebihg penting lagi adalah adanya klaim Hak Cipta dan Desain Produk terhadap beberapa produk asli karya masyarakat lokal Jepara seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.

Bagaimana Terjadi
Awalnya, pengusaha asal Inggris, Christopher Guy Harrison mendaftarkan buku katalog yang memuat ratusan gambar figura Cermin (mirror frame), asesoris dan mebel bermotifkan ukiran ke Dirjen HAKI Pusat. Kemudian, setelah buku katalog tersebut masuk dalam Daftar Ciptaan Umum Dirjen HAKI, Harrison beranggapan memiliki Hak Cipta dan Desain Produk seluruh isi yang ada di dalamnya sehingga siapapun yang membuat produk seperti dalam katalognya dilaporkan ke Polisi dengan tuduhan penjiplakan Hak Cipta dan Desain Produk miliknya.
Hal ini terbukti pada pertengahan tahun 2005 lalu, salah satu perajin epara telah dilaporkan ke Polres Jepara dengan tuduhan pelanggaran Hak Cipta dan Desain Produk milik Christopher Guy Harrison. Dampaknya, sebagian besar perajin di sekitar terlapor tidak berani memajang figura cermin produknya karena takut dilaporkan ke Polisi.
Berikutnya adalah pengusaha asal Belanda yang sudah 15 tahun di Jepara juga terkena dampak kalim Hak Cipta tersebut bahkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Peter dinyatakan kalah dan harus dipulangkan ke negerinya. Kemudian berlanjut pula pada pengusaha di Jawa Timur.

Apa yang Harus Dilakukan
Adalah Colaboration of Ecology and Centre Information to Us (CELCIUS) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang Lingkungan dan Seni Budaya telah mencoba menborehkan catatan dalam upaya prlindungan dan pelestarian karya budaya masyarakat.
Dari kejadian tersebut, LSM Celcius kemudian mengawali advokasinya sejak tahun 2005. Setelah hasil temuannya dikonsultasikan pada berbagai pihak terkait, mulai dari antar lembaga, para pakar, praktisi hukum hingga Dirjen HAKI, serta berbagai studi hukum terkait dengan pelanggaran Hak Cipta, maka April 2006 LSM Celcius melaporkan Christopher Guy Harrison ke Polres Jepara.
Setelah melalui perjalanan panjang dan tidak mudah, Celcius mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan yakni diterbitkannya Surat Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polres Jepara atas nama Christopher Guy Harrison pada 1 Februari 2007. Namun dmeikian, diterbitkannya DPO tersebut bukanlah akhir perjuangan Celcius.
Berbagai aksi peduli HAKI dan peduli karya budaya bangsa selalu dilakukan oleh LSM Celcius dengan menggandeng berbagai elemen jaringannya. Termasuk melacak DPO ke Mabes Polri dan Dirjen Imigrasi, beberapa kali meminta keterangan ke Dirjen HAKI dan Kementrian Hukum dan HAM RI serta menggelar aksi pada hari HAKI sedunia tiap tanggal 26 April seperti tahun 2011 ini.
Ironisnya, dari perjalanan panjang dari tahun 2005 hingga 2011 ini, Celcius menemukan beberapa hal yang sangat mengejutkan dan di luar dugaan. Diantaranya adalah hilangnya berkas permohonan Hak Cipta Harrison yang dinyatakan oleh pihak Dirjen HAKI serta diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) oleh Polres Jepara terhadap ter-DPO Christopher Guy Harrison yang diterbitkannya.
Menengok dari itu, dalam memperingati hari Hak Kekayaan Atas Intelektual (HAKI), 26 April 2011 ini, LSM Celcius sengaja menggelar sesuatu yang berbeda. Selain menampilkan karya-karya seni yang tertata apik dalam sebuah pertunjukkan seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Celcius bekerjasama dengan Gaperto Art community (GAC) menampilkan karya besar yang luar biasa yakni barong dencong (barongan) raksasa berukuran 5 x 5 x 17 m selama tiga hari dan ditutup dengan seminar lesehan terbuka dengan tema “Tahun Terakhir Penuntasan Kasus Pelanggaran Hak Cipta di Jepara”
Hal ini sengaja dilakukan karena selain tahun 2011 merupakan tahun Refleksi 5 Tahun kasus Pelanggaran Hak Cipta Mebel Ukir Jepara, dimaksudkan pula agar dalam seminar terbuka dan lesehan tersebut dapat diikuti oleh masyarakat semua lapisan, mengena, dan tidak berkesan eksklusif sehingga dalam penyusunan rekomendasi hasil seminarpun menjadi lebih obyektif.


Rekomendasi Hasil Seminar Hari HAKI
Refleksi 5 Tahun Kasus Pelanggaran Hak Cipta Mebel Ukir Jepara

Seminar Hari HAKI se-dunia, 26 April 2011 yang bertemakan “Tahun Terakhir Penuntasan Kasus Pelanggaran Hak Cipta Mebel Ukir Jepara” dihadiri oleh hampir 300 orang dari semua lapisan mulai dari tukang kayu, perajin, pengusaha, LSM, Ormas, Seniman, Pelajar hingga Pejabat dengan Pembicara seorang Antropolog Jogjakarta kelahiran Suku Mandar Sulawesi, Bustan Basir Maras dan Ketyua LSM Celcius Jepara, Didid Endro S. merekomendasikan beberapa hal penting sebagai berikut :

01. Pemerintah Kabupaten Jepara (Bupati dan DPRD) harus bersedia menandatangani Surat Permohonan Pembatalan Hak Cipta Buku Katalog milik Christopher Guy Harrison ke Dirjen HAKI. Hal ini demi kepentingan seluruh masyarakat Jepara.
02. Pemerintah Kabupaten Jepara harus secepatnya membuat dan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan Industri. Karena mebel ukir sudah berkembang dan membudaya sejak ratusan tahun lamanya dan belum ada regulasi yang menyentuhnya.
03. Polres Jepara harus menerbitkan kembali Surat DPO terhadap Christopher Guy Harrison karena SP-3 yang diterbitkan Polres Jepara tidak cukup alasan dan selama DPO diterbitkan belum ada pemeriksaan terhadap terlapor.
04. Segera bentuk Institusi HAKI yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Jepara. Dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi penuntasan kasus pelanggaran Hak Cipta folklor masyarakat Jepara berupa mebel ukir.
05. Pihak Dirjen HAKI harus bertanggungjawab karena telah menghilangkan berkas Permohonan Pendaftaran Hak Cipta Christopher Guy Harrison.

Demikian rekomendasi hasil seminar Hari HAKI se-dunia tanggal 26 April 2011, selanjutnya kepada semua pihak terkait untuk segera menindaklanjuti demi kepentingan masyarakat Jepara dan seluruh bangsa Indonesia.

BARONGAN RAKSASA


BARONGAN RAKSASA KARYA DIDID ENDRO S
DAN GAC


Setelah tiga bulan Didid Endro S ditemani 4 orang anggota Gaperto Art Community (GAC), akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaannya membuat barongan raksasa berukuran 5 x 5 x 17 m berbahan dari kayu LO. Barongan ini didesain dan dikerjakan oleh Didid bersama 4 orang yang KEMUDIAN disebutnya tim Pandawa Lima.
Penciptaan barongan berukuran super jumbo ini sengaja dilakukan oleh Didid untuk memperingati HariHak Atas Kekayaan Intelektual ( HAKI) se-dunia pada tanggal 26 April 2011. Hal ini dilakukan terkait sejak tahun 2005 lalu pihaknya bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Colaboration of Ecology and Centre Information to Us (Celcius yang bergerak di bidang lingkungan dan seni budaya telah mengawal pencurian Hak Cipta karya budaya masyarakat Jepara berupa mebel ukir yang dilakukan oleh pengusaha asal Inggris Christopher Guy Harrison yang sampai saat ini belum tuntas.
Belum tuntasnya kasus tersebut, menurut Didid, terkendala oleh berbagai factor diantaranya adalah tidak konsistennya para institusi terkait termasuk Dirjen HAKI dan Polres Jepara yang telah menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) tahun 2007 lalu yang justru dihentikan sendiri tahun 2010.
“Saya sangat kecewa atas sikap ini. DPO tersebut dihentikan tanpa alas an kecuali peryataan kurang cukup bukti oleh Polres Jepara” papar Didid.
Menurutnya, pernyataan kurang cukup bukti tersebut sangatlah tidak masuk akal. Pasalnya, semenjak DPO diterbitkan, pihak Polres belum pernah memeriksa terlapor. Kalau toh pernah, itupun hanya karyawan, sementara yang terlapor bukanlah karyawan melainkan Christopher Guy Harrison. Selain itu, tambah Didid, kalau hanya jawaban “kurang cukup bukti” kenapa harus menunggu sampai bertahun-tahun?
“Ini menunjukkan bahwa Polres Jepara tidak memiliki komitmen terhadap upaya perlindungan dan pelestarian karya budaya local. Padahal mereka itukan hidup dan makan di Jepara to?”
Dari hal inilah sebagai bentuk refleksi lima tahun kasus pelanggaran Hak Cipta di Jepara, LSM Celcius bekerjasama dengan Gaperto Art Community dan didukung oleh berbagai elemen masyarakat lainnya, menggelar acara peringatan hari HAKI se-dunia selama 3 hari dan menampilkan karya besar berupa barongan raksasa dan bias dimainkan sebagaimana layaknya barongan lainnya.
Oleh Didid, hal ini dimaksudkan agar semua pihak terkait kembali mengingat bahwa kita masih memiliki “PR” besar yang belum terelesaikan. Kesemuanya itu adalah demi kepentingan masyarakat Jepara dan seluruh bangsa Indonsia tentunya.
“Untuk itu, kami berharap, tidak hanya Pemerintah dan masyarakat lokal saja, melainkan seluruh aparatur di Indonesia bersama-sama masyarakat untuk melawan segala bentuk klaim dan/atau pencurian karya budaya masyarakat. Karena seni budaya adalah lambing keberadaban”, ungkapnya

HARI HAKI SE-DUNIA


BARONG RAKSASA,
RAMAIKAN HARI HAKI SE-DUNIA

Dalam rangka memperingati hari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) se-dunia (26/4) tahun ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Coaboration of Ecology and Centre Information to Us (Celcius) yang bergerak di bidang lingkungan dan seni budaya Jepara kembali menggelar acara seperti tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk tahun ini pelaksanaan acaranya sangat berbeda dengan biasanya.
Selain mengisinya dengan pameran patung, gelar sastra, musik, dan teater acara yang digelar selama tiga hari di Taman Asah Asih Asuh depan Museum Kartini Jepara ini juga menampilkan pertunjukkan Barong Dencong (barongan)berukuran super besar. Kepala barongnya saja berukuran lebar 5 m dan tinggi 5 m kemudian panjang badan menggunakan kain sepanjang 15 m, total panjang 17 M. Barong raksasa ini dimainkan 17 orang, 10 orang mengangkat bagian kepala dan 7 orang lainnya di bagian badan barong. Di atas barongan raksasa tersebut, LSM Celcius juga membentangkan spanduk sepanjang 152 m tanpa putus berisikan tulisan tentang kepedulian terhadap karya budaya lokal dan seruan upaya penuntasan kasus pelanggaran Hak Cipta Mebel Ukir oleh orang asing yang belum tuntas sejak tahun 2005 lalu.
Barong raksasa ini dibuat oleh Didid Endro S bersama 4 orang anggota Gaperto Art Community (GAC) dari bahan kayu pohon LO selama tiga bulan proses. Satu bulan pertama digunakan untuk pemilihan bahan dan pengeringan, dua bulan untuk proses pembutananya Sengaja menggunakan bahan kayu ini karena selain ringan juga tidak mudah patah.

Pelanggaran Hak Cipta
Pentas barong raksasa, pameran patung, pagelaran sastra, musik, dan teater tersebut sengaja diagendakan oleh LSM Celcius untuk mengingatkan serta mendorong pada seluruh pihak terkait dengan terjadinya pelanggaran Hak Cipta terhadap karya budaya masyarakat Jepara berupa Mebel Ukir yang dilakukan oleh pengusaha asal Inggris yang dikawalnya sejak tahun 2005 lalu.
Menurut Ketua LSM Celcius, Didid Endro S, sebenarnya jika semua pihak memiliki komitmen terhadap perindungan dan pelestarian Karya Budaya masyarakat, kasus tersebut tidak sampai berlarut-larut. Akan tetapi, lanjut Didid, dalam upaya penuntasan kasus tersebut banyak faktor yang mempengaruhi sehingga menjadi terhambat bahkan dapat dikatakan terhenti.
Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah benturan antara kepentingan kapitalis dengan kebijakan pemerintah yang memunculkan rasa kekhawatiran atas hilangnya investasi asing terhadap industri mebel ukir di Jepara. Padahal, antara kepentingan masyarakat lokal sebagai penyedia karya budaya dengan kepentingan pemanfaatannya harus seimbang. Jika tidak, tentu akan terjadi eksploitasi yang berlebihan dan menghilangkan nilai-nilai karya budaya warisan leluhur tersebut.
“Kami sangat setuju adanya investasi. Tapi bukan berarti investasi tersebut harus meraup seluruh akar budaya yang ada. Kami hanya menginginkan adanya keseimbangan antara kepentingan masyarakat lokal sebagai penyedia karya budaya dengan kepentingan pemanfatan nilai ekonominya. Tidak lebih”, tegas Didid.
Selanjutnya, Didid mengharapkan adanya sikap tegas dari Pemerintah sebagai pemegang Hak Cipta atas karya budaya masyarakat (folklor) serta perilaku adil dari penegak hukum demi kepentingan masyarakat Jepara dan seluruh bangsa Indonesia. Selain itu, menurut Didid Endro S, substansi kasusnya juga sudah jelas. Yakni diterbitkannya Hak Cipta atas Buku Katalog mebel ukir dan substansi perlindungannya hanya pada bukunya saja. Tidak meliputi isi di dalamnya sebagai obyek perlindungan Desain Industri.
Selain itu, Didid Endro S bersama LSM Celcius juga sudah berkali-kali datang di Kantor Dirjen HAKI Pusat dan mendapat penjelasannyapun sama. Tetapi kenapa pemilik Hak Cipta atas katalog tersebut memaknainya berlebihan hingga pada Hak Cipta atas isi berikut Desain Produknya sehingga ketika ada orang Jepara yang membuat produk seperti yang ada dalam katalok tersebut dilaporkan ke Polisi dengan tuduhan penjiplakan Hak Cipta?.
Kemudian, atas nama Pelapor, Didid juga sangat menyayangkan sikap Polres Jepara yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) terhadap Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Christopher Guy Harrison sebagai tersangka, yang mana surat DPO tersebut juga diterbitkan oleh Polres Jepara sendiri beberapa tahun sebelumnya dan belum pernah ada penangkapan terhadap tersangka.
Menurutnya, inilah faktor lain yang menghambat penuntasan kasus tersebut. Dia beranggapan bahwa pihak kepolisian kurang memahami betul tentang substansi Hak Cipta khususnya karya budaya masyarakat setta dampak lain akibat dari eksploitasi dan komersialisasi oleh pihak asing. Terlebih sampai pada pencabutan DPO dengan menerbitkan SP-3.
“Saya sangat kecewa dengan sikap ini. Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya komitmen dari Polres Jepara terhadap upaya perlindungan dan pelestarian karya budaya masyarakat. Apalagi sampai terbit SP-3. Semua orang juga tahu bahwa DPO itu tidak akan hangus selama belum ada penangkapan dan pemeriksaan. Polisi juga tahu itu to. Tapi kenapa dilakukan? Ada apa sebenarnya?” tandas Didid.
Kekecewaan LSM Celcius tersebut bukan tidak beralasan. Pasalnya, beberapa bulan sebelum diterbitkannya SP-3, pihak polres masih memberikan pernyataan tertulis bahwa sampai hari ini Christopher Guy Harrison masih tercatat sebagai DPO Polres Jepara. Kemudian secara tiba-tiba terbit SP-3 dengan alasan kurang cukup bukti.
“Kalau hanya mengatakan kurang cukup bukti, kenapa harus menunggu beberapa tahun? Toh belum ada penangkapan dan pemeriksaan terhadap pelaku. Kalau hanya karyawan yang diperiksanya, ini sangat tidak masuk akal. Karena mereka tidak memiliki hak apapun terhadap terlapor”, jelasnya
Kemudian faktor lainnya adalah muncul dari pihak Dirjen HAKI yakni awa berkas pengajuan Permohonan Hak Cipta Harrison dinyatakan hilang. Menurut Didid, hal ini merupakan penghianatan terhadap seluruh bangsa Indonesia. Karena, masyarakat sudah memberikan kepercayaan kepada pihak Dirjen HAKI terkait dengan perlindungan Hak Cipta karya budaya masyarakat. Tentunya tidak hanya Jepara melainkan seluruh bangsa Indonesia.
Dari itu, Didid Endro S menyatakan, tahun 2011 ini merupakan tahun terakhir penuntasan kasus tersebut. Pihaknya berharap seluruh pihak yang terlibat dalam penuntasan kasusnya, dapat memahami bahwa mebel ukir merupakan nafas kehidupan masyarakat Jepara sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Dia juga mengharapkan kesadaran dari seluruh masyarakat Jepara atas arti pentingnya Hak Cipta karya budaya demi pencitraan produk mebel ukir Jepara. ***