Selasa, 08 Desember 2009

PUIITKA KEADILAN

Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 atau setidaknya pada Agustus tahun ini sudah mencapai usia kemerdekaan yang ke 64. Sungguh bukan waktu yang pendek untuk melakukan interospeksi dan mawas diri. Tapi benarkah waktu yang pendek pula untuk ukuran pendewasan sebuah negeri ? Tentu tak ada yang mampu menjawab, karena kedewasaan sebuah negeri tergantung pada kearifan para punggawanya.
Lalu bagaimana terhadap pelaksanaan ketatanegaraan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Mungkin pertanyan ini lebih tidak mampu lagi di cari jawabannya. Karena peraturan perundang-undangan hanya bisa dibaca tapi sulit diterjemahkan bahkan oleh yang paling pakar sekalipun.
Mungkin saat ini penulis sedang terjebak dalam lingkar mimpinya yang ruwet tentang rasa keadilan yang selama ini nyata di depan mata sehingga harus berpikir dan mencari yang sesungguhnya. “Itupun kalau mampu menemukannya”.
Tidak sesederhana yang kita bayangkan tentang keadilan yang cukup dengan “pembagian” yang rata, “perlakuan dan perhatian” yang sama dan “jatah-jatah” lain yang harus di sama ratakan. Tetapi ada hal lain yang mesti diperjuangkan dan disempurnakan yakni proporsional dan prefesionalisme sehingga semua hal tidak digarap secara awur-awuran bagaimana layaknya ramalan cuaca yang semakin menjenuhkan.
Ternyata kita harus secara sadar dan suka rela menengok kayak apa susahnya kaum miskin di pinggiran kota, para petani yang pupus harapan lantaran harga pupuk melambung dan para nelayan yang kehilangan ikan tangkapan karena habis disedot blower PLTU. Ternyata kesadaran dan keihlasan itu belum ada sama sekali. Kemudian korupsi seolah dibiarkan merajalela di mana-mana. Ironis…
Semua hal yang diturunkan ke mereka (Rakyat) semata-mata hanya lantaran “proyek” dari pusat negeri bukan atas inisiatif para pegawai (baca: Pejabat) - entah sadar atau tidak – yang justeru menghabiskan uang rakyat. “Lho, iyo to. Mereka itu kan digaji”
Kapolres meluncur dengan mobil mewah bercahaya, kaca tertutup rapat pertanda di dalamnya hawa dingin AC mulai menyentuh sungsum. Tak bergeming melihat dan mendengar keluh kaum papa di kolong jembatan yang ia lewatinya. Lalu , Bupati berserta rombongan bergulir ke pelosok dengan sirine mengaung membangunkan bayi-bayi yang pulas mendekur, mengingatkan janji terdahulu tentang kemakmuran dan kesejahteraan.
Dari sebuah cerita dan denging sirine mengabarkan bahwa ini hanyalah “puitika keadilan” yang kita tak perlu banyak berharap atas kehadirannya. Sebab, keadilan hanya untuk mereka yang berbusana raja dan memiliki kekuasaan untuk mengumbar kata keadilan dan kemakmuran. Penegak hukum pun kadang lupa bahwa hukumnya sudah roboh sejak dia dijadikan penegaknya, begitulah seterusnya.
Agar dapat benar-benar tegak, mungkin para penegak hukumnya tidak harus sekolah terlalu tinggi agar pemikirannya sederhana dan praktis. Atau mungkin mereka harus dihilangkan nafsunya. Ah……….itu tidak mungkin, sebab mereka bukanlah malaikat dan kita harus sadar itu. Enak to……………..

DIKLAT TEATER WARNA

MEMUTUSKAN untuk terjun ke teater berarti harus memiliki rasa cinta pada nilai-nilai estetis yang cukup dalam. Begitulah kondisi batin para peserta diklat teater warna SMKN 2 Jepara.

Meski diikuti oleh sedikit peserta, kegiatan yang dilaksanakan di Bumi Perkemahan (Buper) Pakis Adhi, Desa Swawal, Kecamatan Pakis Aji tersebut tetap memberikan semangat bagi para anggota baru. 13 peserta yang mengikuti kegiatan tersebut juga diberikan beberapa teknis dasar berteater, selain itu juga diberikan materi-materi pendukung lainnya oleh para pemateri yang cukup memiliki kapasitas di dunia kesenian.

Beberapa tokoh besar seniman di Jepara dilibatkan. Di antaranya adalah materi keaktoran yang disampaikan oleh pengampu teater Bisu SMAN 1 Jepara, Kustam Ekajalu, materi artistik panggung oleh Ateng Ais, manajemen pementasan oleh NH Tauchid dari Padepokan Joglo Jepara, dan ilustrasi musik oleh Nurul Bagong Handayani.

"Semua materi pendukung tersebut sengaja disampaikan secara outdoor dimaksudkan untuk meminimalisir kejenuhan," ungkap pelatih Teater Warna, Didid Endro S.

Menurutnya, konsep kegiatan di luar sekolah ini dimaksudkan untuk memaksimalkan pendalaman materi serta sikap apresiasi yang tinggi sehingga seusai diklat para peserta teater mampu mengekspresikannya dalam proses-proses selanjutnya.

"Kami lebih mengedepankan teater sebagai media alternatif pembelajaran moral bagi siswa yang tergabung di dalamnya," tambah Didid.

Semeantara itu, NH Tauchid mengatakan, diklat Teater Warna periode ini menjadi modal dasar pengembangan teater sekolah khususnya di SMK N 2 Jepara serta menjadi modal utama dalam bertanggungjawab untuk keberlanjutan teater di sekolahnya. Sehingga, wacana teater sekolah di Jepara bisa lebih dominan dari kelompok teater umum maupun lainnya. Teater pelajar ini perlu perhatian ekstra dari seniman-seniman lainnya sebagai persiapan menuju regenerasi.

Komentar serupa juga diungkapkan Ateng Ais. Dengan bekal diklat ini, Teater Warna diharapkan menjadi lebih mampu membawa diri. Hal ini menjadi penting untuk dikaji karena sedikit banyak akan muncul berbagai anggapan baik dari masyarakat sekitar maupun dari orang tua murid.

''Saya sebenarnya sangat salut pada para pelajar yang memiliki komitmen terhadap teater. Namun saya tetap berpesan, meski jadwal teater bertambah padat, tetapi tidak melupakan tujuan awal sebagai pelajar," tegasnya.

Rabu, 14 Oktober 2009

Pulau Panjang




Gerakan Pengamanan Lingkungan Hidup
Pulau Panjang

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pos Pengendali Dasmpak Lingkungan (Poskodal) di Pulau Panjang tahun 2009 lebih mengarah pada gerakan psikologis yakni pada penyadaran pengunjung tentang arti pentingnya kelestarian potensi Sunber Daya Alam (SDA) yang ada di sana.
Hal ini dilakukan oleh tema yang ada di Poskodal karena pengunjung yang mengambil terumbu karang dan kekayaan lainnya sangat menurun drastic. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya terumbu karang yang diambil pengunjung dan dikembalikan oleh team Poskodal mencapai antara 60-90 dus, tapi untuk tahun 2009 ini tidak lebih dari 10 dus.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan pencurian karang tersebut, yakni selain lima tahun secara rutin LSM Celcius bersama Forum Pencinta Alam se-Kabupaten Jepara (FPAJ) melakukan gerakan cinta lingkungan di sana, mereka juga melakukan pemantauan secara berkala dua kali dalam sebulan. Bahkan pernah dilakukan selama satu minggu team Poskodal berkemah di Pulau tersebut.
Kemudian didukung pula oleh para petugas pengelola Pesta Lomban yang secara perlahan sudah mulai sadar dan turut membantu memberikan pengertian kepada para pengunjung.
“Untuk tahun ini, bukan berarti tidak ada pengunjung yang mengambil terumbu karang atau lainnya, tetapi mereka lebih mudah diberi pengertian dan langsung dikembalikan sehingga terumbu karang tidak terkumpul di Posko seperti tahun-tahun sebelumnya” ungkap Ketua LSM Celcius, Didid Endro S.
Kendati demikian Celcius dan FPAJ tetap berharap adanya kebijaksanaan dari Pemerintah Kabupaten melalui dinas-dinas terkait untuk memikirkan keberadaan pulau tersebut. Pasalnya, dalam kondisi seperti ini, tidak serta merta kita dilegakan begitu saja melainkan untuk tetap berjaga-jaga hal serupa akan terulang kembali pada hari seusai lomban atau bahkan pada pesta lomban tahun yang akan datang.
Seperti kawasan wisata lainnya, Pulau Panjang yang dijual adalah keindahan alam yang ada, tetapi jika semua potensi habis diambil (dicuri) tanpa ada kebijaksanaan yang mengarah ke sana, tentu Pulau tersebut akan kehilangan daya tarik dan sepi pengunjung. Hal ini yang mesti dipikirkan bersama dari masing-masing pihak terutama pihak pemanfaat seperti Disparbud, Badan Lingkungan Hidup, Dislutkan dan lainnya.
“Kami berharap adanya pengambilan sikap dari masing-masing institusi terkait. Tidak sekedar menyalahkan pihak lain, apalagi menyalahkan kami yang sudah dengan sukarela melakukan pengamanan ini” tambah Didid.
Selanjutnya dua orang yang ditunjuk sebagai koordinator pengamanan lingkungan di sana, menyampaikan ada tujuh titik rawan yang dijaga ekstra ketat. Tujuh titi tersebut sangat berpotensi terjadinya pengambilan terumbu karang, tanaman langka serta burung blekok dan lain sebagainya.
Dari tujuh titik rawan tersebut, ada 4 titik yang diprioritaskan yakni pos tujuh dari sisi timur (dermaga ke utara), pos 1,2, dan 3 dari dermaga ke selatan hingga depan mercu suar.Adapun pos-pos yang linnya bukan berarti aman, tetapi lebih difokuskan pada penyampaian pengertian kepada para pengunujung. Selain itu juga melakukan pengawasan kalau ada pengunjung yang berhasil membawa terumbu ke daratan lalu dimintanya untuk dikembalikan ke tempat semula.
“Kami merasa cukup lega karena tahun ini tidak sebegitu parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini lebih sedikit pengunjung yang mengambil terumbu karang. Itupun lebih mudah diarahkan”, ungkap salah satu koordinator lapangan, Ali Rohmad yang sejak lima tahun lalu terlibat dalam Poskodal Pulau Panjuang.
Kelegaan yang sama juga diungkapkan oleh 72 personil team Poskodal. Kendati demikian, mereka merasa tersinggung ketika ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menyalahkan mereka atas Poskodal yang dilakukan. Mereka menilai bahwa kegiatan ini dilakukan atas sukarela dan atas dasar cinta lingkungan. Mereka sebenarnya tidak mengharapkan adanya imbalan apapun tetapi setidaknya ada pengambilan sikap yang bijaksana dari masing-masing institusi.
“Tanpa atau dengan dukungan Pemerintah, kami tetap akan melakukan kegiatan ini dan kami tidak mengharapkan apapun. Mari kita buktikan komitmen ini. Adakah pejabat yang mau turun langsung tanpa dibayar?” tegas koordinator dua, Arief Rohman.
Pihaknya merasa tersinggung ketika ada salah satu Dians yang menyalahkan kegiatan tersebut. Apalagi dianggap menganggu kenyamanan pengunjung. Menurutnya, kegiatan ini tidak hanya satu dua kali dilakukan maainkan sudah enam tahun berturut-turut dan selama itu pula tidak pernah terjadi hal-hal yang mengganggu pengunjung. Bahkan setelah diberikan pengertian, ada beberapa pengunjung yang dengan suka rela membantu kegiatan tersebut. Mulai dari berjaga di masing masing pos hingga mengembalikan terumbu karang ke laut.
“Sekarang tinggal bagaimana sikap Pemerintah. Kalau memang sama-sama memiliki komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan potensi wisata yang ada, ya mari kita bersama-sama melakukan gerakan cinta lingkungan ini. Tetapi jika tidak, biar masyarakat yang memberikan penilaian. Kami juga tahu seberapa besar anggaran yang diberikan untuk kegiatan lingkungan hidup kok” tegas Didid Endro S.
Selanjutnya, Didid juga merencanakan akan melakukan pemantauan lingkungan dibeberapa titik terkait dengan pelaksanaan pesta lomban dengan pengerahan personil yang semakin banyak pula. Kegiatan ini akan dimulai dengan menginventarisir berbagai potensi kekayaan SDA pada masing-masing titik pelaksanaan pesta lomban.
Kemudian, Didid juga menyinggung sedikit persoalan tata letak kawasan wisata di Pulau Panjang. Seperti halnya pembuatan toilet untuk pengunjung dan pengelolaan sampah. Di kawasan tersebut hanya ada satu toilet permanen. Kemudian ada dua toilet sementara yang letaknya tidak memenuhi syarat estetika kawasan wisata dan hal ini dibiarkan begitu saja oleh pengelola atau institusi terkait.
Selain itu, usai pesta lomban, banyak sampah baik sampah organic maupun non organic yang dibiarkan berserakan begitu saja. Tolilet yang tidak layak dan tidak adanya pengelolaan sampah akan menimbulkan kesan kumuh pada kawasan wisata Pulau Panjang. Semoga tahun yang akan datang menjadi lebih baik, mengingat Pulau Panjang selain sebagai kawasan wisata alam juga sebagai tempat wisata religius.

Poskodal Pulau Panjang

TANPA DUKUNGAN,
CELCIUS TETAP DIRIKAN POSKODAL

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Celcius bekerjasama dengan Forum Pencinta Alam se- Kabupaten Jepara (FPAJ) mengadakan kegiatan Pos Pengendalian Dampak Lingkungan (Poskodal) di Kawasan Wisata Pulau Panjang Jepara ketika pesta lomban tiba.
Kegiatan tersebut selain untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup juga sekaligus memberikan pemahaman kepada para pengunjung bahwa pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) untuk wisata perlu juga memperhatikan nilai-nilai kelestarian lingkungan hidupnya (Konservatif).
Kemudian sebagai bentuk komitmen LSM Celcius dan FPAJ terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup di Pulau Panjang, dilakukan pula kegiatan rutin berkala satu bulan dua kali untuk pemantauan kerusakan lingkungan hidup di Pulau tersebut. Selanjutnya hasil pemantauan didokumentasi dalam bentuk laporan perkembangan.
Kegiatan rutin yang dilakukan sejak tahun 2003 ini, tampaknya belum mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten untuk ditindaklanjuti. Bahkan kegiatan tahun ke-6 ini, Sabtu-Minggu (26-27/09) dinilai salah oleh dinas terkait karena dianggap mengganggu kenyamanan pengunjung. Hal ini oleh Ketua LSM Celcius, Didid Endro S, dianggap pernyataan yang tidak bijaksana bahkan konyol.
“Mestinya kegiatan yang kami rintis ini didukung oleh institusi terkait bukan malah disudutkan.”, ungkap Didid.
Lebih lanjut, Didid juga mengungkapkan betapa memperhatikannya kondisi Pulau Panjang disaat pesta lomban tiba. Para pengunjung seenaknya mengambili terumbu karang, burung blekok, dan tanaman untuk dibawa pulang. Hal ini disikapi Celcius dan FPAJ dengan cara meminta kembali kekayaan alam yang telah tercabut tersebut untuk dikembalikan ke habitatnya.
Setidaknya dalam satu kegiatan, Celcius dan FPAJ berhasil mengembalikan berpuluh-puluh dus terumbu karang yang diambil pengunjung dan berpuluh burung blekok serta beberapa tanaman. Sangat tidak mungkin jika hal ini dibiarkan begitu saja.
“Kalau satu kali lomban ada 60-90 dus terumbu karang yang diambil pengunjung dan begitu seterusnya, bagaimana pulau panjang kedepan”, tambah Didid.
Menurutnya, dinas atau institusi terkait yang berkompeten dan memiliki komitmen terhadap pelestarian lingkungan serta pengembangan potensi wisata, mestinya sadar dan memahami hal ini. Artinya tidak harus menunggu disodok-sodok, tetapi bisa melihat kondisi real yang ada. Apalagi Dinas Pariwisata (Disparbud), Badan Lingkungan Hidup (BLH), dan Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) yang memilki kepentingan atas lestarinya pulau panjang mestinya faham betul tentang apa yang terjadi di sana.
Sementara itu, salah satu coordinator kegiatan tersebut, Ali Rohmad, mengeluhkan atas sikap institusi yang menganggap kegiatan ini salah. Menurutnya, para peserta selama ini tidak pernah melakukan sikap-sikap konfrontatif terhadap para pengunjung tetapi lebih pada sikap persuasif sehingga pengunjung perlahan-lahan semakin sadar dan dengan suka rela menyerahkan barang “pungutannya” kepada pos Pengendali Dampak Lingkungan (Poskodal). Bahkan ada beberapa pengunjung yang turut membantu mengembalikan terumbu karang ke perairan.
“Kami tidak setuju kalau kegiatan ini dianggap mengganggu kenyamanan pengunjung oleh Disparbud. Justru kami memberikan pemahaman kepada mereka (pengunjung)” tegas Ali Rohmad.
Untuk melihat kondisi yang sebenarnya, lanjut Ali Rohmad, tidak ada salahnya dinas atau institusi terkait sesekali datang ke pulau panjang disaat lomban tiba. Di sana akan terbukti kerja keras peserta kegiatan Poskodal tanpa pamrih apapun.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Arif Rohman. Pihaknya lebih tegas lagi menilai bahwa isntitusi yang memberikan penilaian buruk terhadap kegiatan tersebut merupakan sikap yang apatis dan tidak peduli terhadap hal yang sebenarnya harus mereka kelola dengan baik. Pulau Panjang yang dijual adalah potensi alamnya, jika potensi yang ada di dalamnya semakin habis, tentu Pulau tersebut menjadi tidak menarik.
“Mari kita berpikir realistis. Saya tidak yakin kalau para pejabat terkait mau turun langsung ke sini untuk melakukan kegiatan seperti ini tanpa dibayar dan mengeluarkan biaya sendiri. Sangat tidak mungkin”, tegas Arief Rohman.
Arief hanya berharap jangan tergesa-gesa menjustifikasi terhadap kegiatan yang dilakukan selama ini. Setidaknya mereka merasa terbantu oleh para peserta Poskodal sehingga kawasan tersebut menjadi terselamatkan meskipun sedikit demi sedikit.
Lima tahun bukanlah waktu yang pendek untuk tetap melakukan kegiatan secara kontinu. Hal ini tidak akan terjadi tanpa dilandasi komitmen yang tinggi terhadap cinta lingkungan. Selanjutnya, bagaimana dinas atau institusi terkait mensikapi kegiatan tersebut. Sehingga terjalin sinergitas yang baik demi kelestarian Pualau Panjang.
Di hadapan 70 orang peserta Poskodal, Didid Endro S., menyampaikan agar tetap terjaga kondusifitas pengunjung sehingga mereka (pengunjung) tidak merasa kecewa ataupun tersinggung atas sikap peserta Poskodal. Bahkan diharapkan berangsur-angsur tercipta kesamaan persepsi diantara keduanya.
“Yang menganggap salah biarkan saja menganggap salah. Yang tidak peduli, biar saja tidak peduli. Yang penting kita tetap saja jalankan apa yang bisa kita lakukan” celetuk Didid mengakhiri breefing sebelum turun.
Selanjutnya, masing-masing peserta berhamburan menuju beberapa pos yang telah ditentukan. Ada beberapa titik rawan dipasang tali batas agar pengunjung tidak memaksa masuk untuk mengambil terumbu karang yang ada. Pengunjung disarankan cukup menikmati keindahan terumbu karang dari luar tali batas yang pemasangannya sudah diperkirakan sedemikian rupa sehingga pengunjubng tidak terganggu. ***


DATA KEGIATAN LSM CELCIUS BERSAMA FPAJ
UNTUK PULAU PANJANG
DARI TAHUN 2003
No. Uraian Kegiatan Tahun Jumlah Personil Keterangan
1 Poskodal Syawalan 2003 96 orang Swadaya
2 Poskodal Syawalan 2004 70 orang Swadaya (jualan kelapa muda untuk biaya operasional)
3 Bersih lingkungan 2004 112 orang
4 Poskodal Syawalan 2005 82 orang Swadaya
5. Poskodal Syawalan 2006 90 orang Swadaya
6 Penanaman Pohon 2006 120 orang Gerhan
7. Poskodal Syawalan 2007 49 orang Swadaya
8 Poskodal Syawalan 2008 79 orang Swadaya

Keterangan :
Selain beberapa kegiatan tersebut, Celcius juga melakukan intensitas pemantauan berkala 1 bulan 2 kali dengan biaya swadaya

BERITA SMP N 1 Mlonggo

Laporan Pertanggungjawaban Ditolak,
Kepala SMP Mlonggo Ancam Minta Dipindah

“Kalau begini caranya, saya menjadi kehilangan semangat untuk mengelola sekolah ini. Saya akan minta dipindah saja dari sisni”

Demikian kalimat yang disampaikan Kepala SMP Negeri 1 Mlonggo, Sudiharto, S.pd, dihadapan para wali murid dalam Rapat Pleno Komite SMP Negeri 1 Mlonggo, Sabtu (10/10) akhir pekan lalu ketika Laporan Pertanggungjawaban Komite ditolak.
Oleh para wali murid, pernyataan tersebut dianggap sikap yang kurang bertanggungjawab. Kepala sekolah diminta bersikap lebih bijaksana dan tidak menodai dunia pendidikan.
Penolakan Laporan Komite oleh para wali murid tersebut dipicu karena adanya selisih antara anggaran pendapatan dengan anggaran belanja mencapai 50 juta lebih. Dalam lembar yang diberikan kepada seluruh wali murid yang hadir, pada lembar pertama anggaran pendapatan ditulis Rp 297. 155.500 dengan rincian Kelas VII : 285 x Rp 350.000, Kelas VIII : 270 x Rp 250.000, dan Kelas IX : 224 x Rp 200.000. Ditambah saldo tahun 2007/2008 sebesar Rp 362.400, sumbangan rutin 6 bulan Rp 82. 080.000, dan pinjaman dari pihak lain sebesar Rp 20.855.600.
Sedang pada lembar kedua, dengan jumlah murid yang sama dikalikan angka yang jauh berbeda tetapi jumlah tetap sama. Yakni Kelas VII : 285 x Rp 400.000, Kelas VIII : 270 x Rp 300.000, dan Kelas IX : 224 x Rp 250.000. Berdasarkan hitungan pada lembat kedua jumlah anggaran pendapatan mestinya Rp 354. 297.400 tetapi ditulis Rp 297.155.500. Artinya masih ada sisa anggaran Rp 57.141.900. tetapi pada kolom saldo ditulis Rp 0.
Menurut salah satu wali murid kelas IX, Didid Endro S. ini merupakan kesalahan yang fatal dan harus direfisi serta tidak sekedar salah ketik seperti yang disampaikan Kepala SMP. Wali murid, lanjut Didid, tidak mau dibohongi terus menerus dan ini sudah saatnya untuk saling terbuka.
Selain itu, Didid juga menyayangkan jika dalam laporan komite sekelas SMP Negeri 1 Mlonggo hanya sekedar hitung-hitungan angka dan seolah dipas-paskan antara anggaran pendapatan dengan anggaran belanjanya. Laporan tersebut tanpa dilengkapi keterangan-keterangan detail yang bisa dibaca oleh wali murid sehingga sangat berpotensi adanya penyelewengang anggaran.
Seperti misal, sumbangan rutin 6 bulan sebesar Rp 82. 080.000 tersebut dari berapa murid da berapa besarnya. Karena pada rapat sebelumnya, uang BP3 dari Januari hingga Juni yang mestinya dikembalikan pada orang tua murid juga telah diminta sekolah untuk pembangunan pagar. Bahkan usulan orang tua murid untuk dikembalikan terlebih dahulu baru memberi sumbangan, ditolak juga oleh pihak Sekolah dengan menyodorkan Surat Pernyataan yang sudah disiapkan sebelumnya.
Kemudian atas dasar Surat Pernyataan tersebut, pihak Sekolah menganggap seluruh orang tua murid telah menyerahkan uang BP3 Januari hingga Juni kepada SMP Negeri 1 Mlonggo sebagai sumbangan. Meskipun yang menandatangani Surat Pernyataan tanda setuju lebih sedikit dengan yang tidak menandatangani, uang tersebut tetap tidak dikembalikan.
Yang lebih memperihatinkan lagi, adanya pinjaman dari pihak lain yang juga tidak dijelaskan dari mana pinjaman tersebut. Hal ini sangat memalukan dan tidak masuk akal jika SMP Negeri memiliki hutang.
“Kalau SMP ini memiliki hutang pada pihak lain, mohon bisa dijelaskan. Karena bukan hanya Kepala sekolah atau wali murid saja yang merasa malu, tapi Indonesia juga malu. Karena ini sekolah Negeri, pak” tegas Didid
Selanjutnya, karena ada selisih anggaran dan berbagai persoalan lain yang tidak bisa dijelaskan secara detail baik oleh ketua komite maupun Kepala Sekolah, serentak Laporan pertanggungjawaban Komite ditolak ditandai dengan pengembalian berkas laporan dari wali murid kepada Komite dan Kelapa Sekolah untuk direfisi dan rapat minta untuk dihentikan.
Hal fatal lainnya yang memicu perselisihan dalam rapat pleno tersebut adalah adanya intimidasi dari kepala sekolah bahwa sikap wali murid tersebut akan beresiko pada anak-anaknya yang masih sekolah di SMP Negeri 1 Mlonggo. Serentak wali murid tersinggung dan berdiri meninggalkan forum rapat. Ditambah dengan ancaman bahwa Kepala Sekolah sudah kehilangan semangat dan akan minta untuk dipindah dari SMP Negeri 1 Mlonggo.
“Maaf pak. Anda tidak perlu melontarkan intimidasi kepada anak-anak kami. Urusan anak biar saja, tapi ini urusan orang tua yang bertanggungjawab atas pendidikan anak-anaknya. Mohon anda tidak kekanak-kanakan” tegas Didid.

Memaksakan Kehendak
Meskipun berkas laporan dikembalikan untuk direfisi dan rapat minta dihentikan, bahkan sebagian besar wali murid telah meninggalkan forum rapat, Ketua Komite Sekolah, H. Markuwan, memaksa melanjutkan rapat pleno dengan melontarkan tawar menawar uang pembangunan mulai dari kelas VII hingga kelas IX. Selain itu, ketua komite juga menganggap bahwa laporan pertangungjawaban sudah disetujui.
“Ini jelas tidak adil pak. Mohon suara kami bisa didengar dan jangan mengedepankan kepentingan pribadi belaka. Ini demi masa depan anak-anak kami bukan untuk siapa-siapa. Kalau laporan pertanggungjawaban tidak diterima, berarti rapat harus dihentikan” ungkap salah satu wali murid, Solikul.
Selanjutnya, wali murid menunggu penjelasan lebih lanjut baik dari pihak Komite dan Kepala Sekolah terkait dengan laporan pertanggungjawaban serta kebijakan-kebijakan lain yang dinilai kurang tepat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka wali murid akan mengambil sikap bahkan akan membentuk Forum Komunikasi Wali Murid (FKWM) SMP Negeri 1 Mlonggo untuk mensikapi segala persoalan yang dihadapi wali murid.
“Komite sekolah dan Kepala Sekolah telah menodai kepercayaan wali murid. Mosok sekolah negeri kok uang pembangunannya setiap tahun naik. Apa gunanya ada prioritas anggaran pendidikan. Kalau Komite dan Kepala sekolah tidak bisa bekerja, mundur saja dari jabatannya dari pada merepaotkan” tegas Solikul.
Selanjutnya, mengakhiri perdebatan tersebut, Didid Endro S, mengharapkan agar semua bekerja sesuai kewenangan masing-masing. Jika Komite sekolah dibentuk sebagai mediator antara pihak sekolah dengan wali murid, mestinya tidak ada peberpihakan sedikitpun. Tetapi kenapa selama ini justeru Kamite Sekolah cenderungn berpihak pada kebijakan sekolah. Forum rapat hanya dijadikan ajang ligimtimasi pengambilan keputusan bukan penjaringan aspirasi.
“Mohon ini bisa dipahami bersama. Komite Sekolah mestinya berfungsi sebagaimana mestinya tidak hanya berpikir tentang kepentingan sekolah semata tapi juga harus menerima apa keinginan wali murid. Jika tidak, bubarkan saja Komite dan ganti yang baru” tambah Didid. ***

Selasa, 08 September 2009

PLTN

JANGAN PAKSAKAN PROYEK ITU

Pada dasarnya pembangunan adalah untuk kesejahteraan masyarakat termasuk rencana pembangunan Pembangkit Listrik TenagaNuklir (PLTN) di Semenanjung Muria Jepara. Tetapi jika masyarakat yang disejahterakan tidak menghendaki adanya proyek tersebut dengan alasan tidak mensejahterakan tetapi malah dinilai sangat merugikan, kenapa harus dipaksakan? Ada apa di balik itu semua?
Ada beberapa alasan yang cukup menarik tentang penolakan rencana pembanguna mega proyek PLTN tersebut. Diantaranya adalah :
PLTN dinilai sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat ke depan serta bagi lingkungan hidup. Kemudian sosialisasi yang dilakukan oleh BATAN sampai hari ini dinilai juga belum seimbang antara dampak posistif dan negatifnya. Selama ini BATAN hanya menyampaikan hal-hal positifnya saja. Seperti fungsi nuklir untuk pertanian, peternakan serta hal-hal lain yang menyenagkan.
Batan belum pernah menyampaikan bagaimana dampak lain di luaran itu. Seperti dampak radiasi nuklir yang dibawa ekologi hingga radius yang tak terhingga. Dampak radiasi nuklir ini akan terjadi secara perlahan hingga berpuluh, beratus bahkan ribuan tahun. Hal ini akan terlihat pada perubahan tata lingkungan hidup sekitar hingga pada cacat fiskal anak serta pada perubahan genetika seluruh mahkluk hidup.
Hati-hati dengan PLTN...jika BATAN mencontohkan Serpong tidak ada masalah dengan lingkungan hidupnya, karena reaktor Serpong dengan PLTN Muria sangat jauh berbeda> Di serpong masih sangat kecil reaktornya dibandingkan dengan Muria. Hal ii tentu akanmenjadi persoalan yang serius nantinya.
Seperti Jepang yang dibanggakan dalam seminar di Jakarta beberapa tahun lalu, ternyata dua minggu usai seminar, ternyata ambrol juga dan ini tidak sesederhana menangani jebolnya tanggul bendung Kedung Ombo atau Waduk Sempor...

Nantikan keterangan selanjutnya........................

Minggu, 06 September 2009

Ayo Panjat Tebing (1)
Bagaimana Memanjat Tebing
Oleh : Didid Endro S.

Olah raga panjat tebing merupakan salah satu olah raga yang memiliki resiko tinggi dibanding dengan olah raga lainnya. Akan tetapi keberadaannya kini semakin diminati, utamanya bagi kalangan muda atau lebih khusus lagi bagi kalangan pencinta adventure (petualangan). Karena selain untuk kepentingan olah raga, panjat tebing juga sekaligus bisa dibarengi dengan menikmati keindahan alam sekitarnya. Kendati demikian, climber (pemanjat) juga harus dibekali dengan pemilikan dan penguasaan tehnis pemanjatan secara profesional sehingga pada pelaksanaannya tidak sekedar memanjat.
Mengenai bagaimana seharusnya memanjat tebing, tentu para climber harus mengenal terlebih dulu jenis-jenis pemanjatan serta penguasaan medan pemanjatan secara rinci, detail, dan mengetahui karakter tebing yang akan dipanjat sehingga pada saat bersamaan climber bisa memprediksi peralatan (pengaman) apa yang harus dipersiapkan.
Seperti yang sudah lazim dikenal, ada 3 (tiga) jenis panjat tebing yang sudah sering dilakukan. Pertama adalah Solo Free Climbing (pemanjatan bebas tunggal), yaitu melakukan panjat tebing sendirian tanpa menggunakan tali pengaman. Kedua adalah Free Climbing (pemanjatan bebas), yaitu melakukan pemanjatan dengan menggunakan tali dan pengaman buatan. Akan tetapi pengaman hanya digunakan sebagai alat pengaman saja dan tidak berfungsi sebagai alat penambah ketinggian.
Kemudian yang ketiga adalah Artificial Climbing, yaitu memanjat dengan menggunakan tali dan pengaman tambahan, tetapi pengaman tersebut bisa juga digunakan sebagai alat penambah ketinggian. Artinya, pengaman yang dipasang bisa digunakan sebagai pegangan atau pijakan kaki untuk menambah ketinggian pemanjatan. Jenis ini biasanya diterapkan pada pemanjatan tebing basah atau air terjun.
Meski ketiga jenis tersebut tampak berbeda, akan tetapi pada prinsip dan teknisnya tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya pada penerapan alat atau pengaman yang digunakan, terlebih pada artificial climbing, yang mana jenis pemanjatan ini masih sangat jarang dilakukan oleh pemanjat-pemanjat pemula. Hal ini dikarenakan jenis ini sangat memerlukan kepekaan orientasi medan, kemahiran baik dalam teknis maupun kemahiran dalam penggunaan alat-alat yang ada, serta daya tahan (endurance) yang cukup.
Selain kemampuan penguasaan medan, kemahiran, dan daya tahan yang cukup, pemanjat tidak harus melupakan persiapan-persiapan di bawah tebing sebelum memanjat. Persiapan yang mutlak harus dilakukan adalah pemanasan dan menata semua peralatan yang akan digunakan untuk memudahkan pemilihan atau pengambilan alat-alat apa yang akan digunakan. Selain itu, jangan sampai meletakkan peralatan tepat dibawah tebing yang akan dipanjat. Kedua hal tersebut tampak sederhana atau bahkan dianggap sepele, akan tetapi bisa menjadi hal yang sangat berarti jika pemanjat kurang memperhatikannya. Kenapa demikian ?
Ketika dalam proses pemanjatan tidak didahului dengan pemanasan yang cukup, tidak jarang pemanjat mengalami kram di tengah-tengah pemanjatannya dan hal ini tentunya sangat membahayakan. Karena dalam kondisi seperti ini sangat sulit diantisipasi, apalagi jika pemanjatan yang dilakukan adalah Solo Free Climbing.
Terkait dengan peralatan yang akan digunakan, semua harus diseting rapi (tidak kusut) untuk memudahkan pemanjat memilih dan mengambilnya ketika hendak memasang pengaman tambahan dan sebagainya. Selain itu, harus diperhatikan juga, jangan sampai meletakkan semua jenis peralatan dibawah tebing persis. Karena ketika pemanjatan sudah dimulai dan peralatan diletakkan persis di bawah tebing, tidak menutup kemungkinan alat akan rusak karena kejatuhan batu-batu kecil dari atas akibat pemanjatan yang dilakukan………..


Penulis adalah :
Alumni Perguruan Panjat Tebing Indonesia
SKYGERS Jawa Barat, Angkatan XI
Tinggal di Jepara




Ayo Panjat Tebing (2)
Kenali Alat dan Pengaman Pemanjatan
Oleh : Didid Endro S.

Pada edisi sebelumnya, telah disampaikan bagaimana memanjat serta apa yang harus dilakukan oleh pemanjat. Dalam kesempatan ini, mungkin tidak ada salahnya jika secara bersama-sama untuk saling mengenali sekelumit alat-alat apa saja yang diperlukan dalam melakukan pemanjatan.
Sebelum menuju pada pengenalan alat-alat pemanjatan, ada hal yang tidak kalah pentingnya adalah penciptaan komunikasi yang baik antara climber dengan belayer. Hal ini harus tercipta karena sangat berpengaruh pada keselamatan pemanjat serta beberapa unsur pendukung yang ada di bawah pemanjatan.
Beberapa hal yang harus dikomunikasikan antara belayer dengan climber sebelum pemanjatan adalah tentang kesiapan di antara keduanya. Kemudian dalam perjalanan pemanjatan, hal biasa yang sering dikomunikasikan adalah istilah Full dan Lose. Ketika pemanjat mengatakan full, maka belayer harus menarik tali pemanjatan, dan ketika lose, maka belayer harus mengulur tali pemanjatan. Hal ini sangat terkait dengan kenyamanan pemanjat dalam mencari alternatif jalur dan atau pemasangan pengaman pemanjatan. Selain itu juga ada istilah Rock. Ketika pemanjat berteriak rock, artinya ada bebatuan yang jatuh atau rontok akibat pemanjatan atau gesekan alat-alat pemanjatan lainnya. Sehingga siapapun yang berada di bawah tebing pemanjatan, harus waspada dan menghindari bebatuan yang jatuh tersebut.
Mengenali Alat-alat Pemanjatan
Untuk mengenal lebih dekat bagaimana melakukan pemanjatan yang baik, tentu pemanjat harus mengenal pula alat-alat apa saja yang diperlukan dalam pemanjatan. Ada berbagai jenis alat pemanjatan professional, akan tetapi kebanyakan pemanjat di Indonesia lebih-lebih di tingkat daerah, hanya mengenalkan sebagian saja.
Alat-alat yang sudah lazim dikenal diantaranya adalah :
01. Tali Carmantel. Tali ini terbuat dari nilon berlapis dan memiliki kekuatan (holding power) hingga 2.500 kg. Tali ini ada dua jenis, yakni Dinamic dan Static.
02. Carabiner. Alat ini berupa cincin alumunium aloa dan terdiri dari berbagai bentuk yang berfungsi untuk mengaitkan antara pemanjat dengan pengaman pemanjatan.
03. Sit Harnes. Alat ini berfungsi untuk mengikat tubuh pemanjat yang kemudian di kait dengan carabiner untuk ke tali utama (Carmantel). Alat ini juga ada berbagai jenis bahkan ada juga yang manual yang sering disebut Webbing atau dalam militer lebih dikenal dengan sebutan tali jiwa.
04. Sepatu Panjat. Sepatu ini sangat penting bagi pemanjat. Karena selain aman dari tajamnya batu tebing, juga sangat membantu pemanjat karena bersifat tidak licin dan satu tumpuan.
05. Helm, alat ini masih jarang dipakai oleh pemanjat-pemanjat Indonesia. Padahal dalam melakukan ekspedisi panjat tebing, alat ini sangat vital sekali fungsinya untuk menjaga kepala dari bebatuan yang jatuh akibat pemanjatan. Jika tidak, tentu terjadi banyak kecelakaan. Karena tidak pernah terjadi hal yang cukup berarti, alat ini menjadi terlupakan.
06. Figur of Eigh. Alat ini berbentuk seperti angka delapan dan berfungsi untuk belayer dan atau menuruni tebing setelah pemanjatan usai.
07. Tali Sling. Yaitu berupa tali pita pendek berfungsi sebagai pengatur arah pemanjatan yang dikaitkan antara pengaman yang dipasang dengan tali utama menggunakan carabiner.
08. Paku piton. Yaitu sebuah alat pengaman berbentuk seperti paku pipih yang biasa difungsikan pada celah-celah tebing yang sempit baik horizontal maupun vertical. Tehgnis pemasangannya adalah, paku tersebut dimasukkan pada celah yang diinginkan kemudian dipukul dengan martil. Tetapi dalam pemasangannya tidak bisa dipaksakan. Artinya, ketika sudah mencapai titik maksimal, paku tersebut tidak boleh dipukul lagi. Karena jika dipaksakan, paku tersebut akan berangsur-angsur mengendor dan sangat memungkinkan lepas kembali.
09. Frend. Alat ini berbentuk seperti gerigi dan berpegas. Alat ini difungsikan khusus untuk tebing yang menyempit ke atas. Sebelum dipasang, pegas ditarik kemudian dimasukkan dalam celah tebing yang diinginkan. Alat ini semakin terbebani, semakin kencang mengunci pada celah tebing.
10. Chock. Alat ini berbentuk lonjong segi lima dan biasa difungsikan untuk celah tebing yang menyempit ke bawah
11. Stopher. Alat ini berbentuk pipih tapi semakin tebal pada ujungnya. Fungsinya tidak berbeda seperti Cholck, yakni untuk celah tebing yang menyempit ke bawah.
12. Big Brow. Alat ini berbentuk bulat panjag dan berpegas. Fungsinya untuk celah-celah dinding yang lebih lebar atau besar
Pengaman Pemanjatan
Selain beberapa peralatan di atas, pemanjat jug aperlu mengenali apa-apa saja yang bisa difungsikan sebagai pengaman. Ada dua jenis pengaman yang lazim digunakan oleh para pemanjat, yakni :
01. Pengaman Alami (Natural Anchor). Cara penggunaan pengaman ini adalah dengan memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitar pemanjatan seperti Pohon, akar, batu tanduk, dan lain sebagainya.
02. Pengaman Buatan (Artificial Anchor). Adalah pengaman-pengaman yang sengaja dipasang atau di buat oleh pemanjat dengan menggunakan berbagai perelatan yang sudah dipersiapkan seperti di atas.
03. Pengaman Oposite. Jenis pengaman ini adalah penggabungan antara dua pengaman dari arah yang berbeda. Pengaman ini sangat mungkin terjadi ketika ditemukan dua celah yang berlawanan arah (menyempit ke kriri dank ke kanan)
Demikian berbagai hal terkait dengan peralatan-peralatan apa saja yang harus dipersiapkan pemanjat sebelum melakukan pemanjatan di tebing. Kendati demikian, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para pemanjat, yakni sebelum memasang pengaman baik pengaman buatan maupun pengaman alami, terlebih dulu harus dilakukan pengecekan terhadap kondisi tebing atau celah tebing yang akan dipasangi pengaman.
Adapun cara pengecekannya adalah memukul di seputaran celah tebing yang akan dipasangi pengaman dan dirasakan atau diraba dengan tangan yang satunya. Jika ketika dipukul ada getaran disekitarnya, maka tebing atau celah tersebut tidak layak dipasangi pengaman.
Kemudian berapa jumlah alat atau pengaman yang harus dipersiapkan oleh pemanjat adalah tergantung hasil observasi yang dilakukan sebelum pemanjatan. Selanjutnya tentu masih banyak hal lain yang belum tersampaikan. Untuk itu, agar lebih memahami penerapan peralatan serta teknis simpul, perlu dilakukan simulasi atau sekedar praktik kering (uji coba di bawah tidak di tebing langsung )

Penulis adalah :
Alumni Perguruan Panjat Tebing Indonesia
SKYGERS Jawa Barat, Angkatan XI
Tinggal di Jepara















Ayo Panjat Tebing (3)
Olah Raga Panjat Tebing
Oleh : Didid Endro S.

Berbicara panjat tebing (Rock Climbing) tentu sangat erat kaitannya dengan unsur petualangan di alam bebas (adventure). Akan tetapi setelah panjat tebing menjadi populer dan semakin digemari oleh masyarakat, akhirnya dikembangkan menjadi salah satu bentuk olah raga yang hingga sekarang dikenal dengan Panjat Dinding (Wall Climbing).
Secara prinsip, antara panjat tebing dengan panjat dinding, tehnik pelaksanaannya tidak jauh berbeda, hanya saja media yang digunakan sangat berbeda. Kalau panjat tebing, terkesan lebih menantang. Karena pemanjat dihadapkan dan bersentuhan langsung dengan tebing alami dengan jalur pemanjatan yang alamiah pula.
Sementara kalau panjat dinding, pemanjat dihadapkan miniatur tebing yang terbuat dari dinding multiplek ataupun fiber glass yang sudah didesign sedemikian rupa. Bahkan jalur pemanjatannyapun sudah dibentuk dan diatur oleh pembuat jalurnya berupa pemasangan poin-poin untuk pegangan dan pijakan (hand grip). Sehingga pemanjat terkesan sudah dikendalikan (di-direc) oleh pembuat jalur.
Namun demikian, bukan berarti panjat dinding lebih mudah dibandingkan dengan dengan panjat tebing. Keduanya memiliki spesifikasi tingkat kesulitan (grade) yang berbeda-beda. Pemanjat dinding atau Sport Climbing pemula, kebanyakan sering mengalami kesulitan pada tataran tehnis. Rata-rata mereka lebih mengedepankan tenaga (Power) dan jangkauan. Jika sudah demikian, pemanjat akan kelabakan ketika dihadapkan pada jalur-jalur yang bersifat tehnis.
Pada jalur pemanjatan seperti ini, pemanjat - sebut saja atlet-, dituntut kejelian dan kepekaan dalam melakukan observasi/orientasi jalur sebelum pemanjatan. Dengan demikian, pemanjat tidak akan terjebak oleh jalur yang sengaja disiapkan pembuat jalur. Pemanjat harus mengikuti alur yang sebenarnya, sehingga tingkat kesulitan bisa dieliminir. Dalam jalur tehnis ini, pemanjat juga dituntut melakukan ekplorasi gerak atau olah tubuh yang bagus agar tercipta keseimbangan (balancing) yang baik pula.
Kemudian untuk menciptakan perpaduan antara keseimbangan, power, jangkauan, dan keindahan gerak tubuh, pemanjat harus melakukan latihan-latihan secara intens. Selain itu, untuk menjadi atlet panjat dinding yang baik, juga harus didukung dengan insting yang kuat terhadap antisispasi jalur ketika terbentur pada tingkat kesulitan (kasus) saat pemanjatan sedang berlangsung.
Ada satu hal yang dikenal dan sering dilakukan dalam memanjat dinding adalah tehnis Tri Poin. Tehnis ini sebenarnya sangat sederhana akan tetapi terkadang sering dilupakan begitu saja. Tri poin adalah sistim meletakkan beban tubuh pada tiga tumpuan, yakni dua tangan satu kaki atau dua kaki satu tangan.
Jika pembagian tumpaun ini dilakukan dengan sempurna, tentu akan tercipta balancing yang baik pula dan dengan balancing yang baik ini, daya tahan (endurance) pemanjat akan lebih terjaga. Begitu juga sebaliknya, jika hal ini terlupakan, maka tidak menutup kemungkinan pemanjat akan kehabisan energi sebelum mencapai top roop atau puncak dinding yang diinginkannya.
Beberapa hal di atas, sebenarnya sudah menjadi dasar acuan bagi atlet-atlet panjat professional maupun para pihak management atlet. Akan tetapi dalam penerapannya selalu saja ada perbedaan. Hal ini tergantung kemampuan masing-masing individu ataupun secara kelompok untuk mentransformasikannya.
Bahkan, dalam kebanyakan pihak managemen atlet, utamanya di daerah-daerah, jarang sekali melakukan pengelolaan atlet secara intens sehingga tidak heran jika banyak atlet yang meninggalkan daerahnya untuk mencari sesuatu yang lebih berharaga di daerah lain. Artinya, jika panjat tebing sudah dikelola menjadi sebuah komoditas olah raga pada masing-masing daerah, sudah seharusnya diimbangi dengan managemen pengelolaan atlet yang baik pula. Yang paling utama di sini adalah pengelolaan secara utuh baik fisik, teknis, maupun sarana prasarana serta fsasilitas.
Demikian beberapa hal yang bisa tertuang dalam kesempatan ini. Mestinya masih ada beberapa hal yang perlu kita simak bersama terkait dengan tehnis, pemasangan peralatan, Managemen Rope dan sebagainya. Tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu, semoga dengan sekelumit berbagi ini, bisa bermanfaat bagi seluruh pencinta olah raga panjat tebing.
Selamat mencoba………………

Penulis adalah :
Alumni Perguruan Panjat Tebing Indonesia
SKYGERS Jawa Barat, Angkatan XI
Tinggal di Jepara

TOLAK MALAYSIA

Gelar Sastra Tolak Klaim Malaysia
Dari RT Hingga DPR

Persoalan klaim terhadap aset Negara Indonesia berupa karya budaya masyarakat adalah persoalan seluruh bangsa di mana persoalan ini juga harus diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa harus memilah siapa mereka. Besar kecil, tua muda, kaya miskin, pejabat ataupun rakyat kecil sekalipun. Jika persoalan ini hanya diketahui oleh pejabat atau orang-orang tertentu yang dinilai berkompeten, tentu tidak akan bisa diselesaikan.
Terkait dengan hal tersebut, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Colaboration of Ecology and Centre Information to Us (Celcius) – lingkungan dan seni budaya – bersama Gaperto Art Community dan Teater Kusuma serta didukung pekerja seni Jepara menggelar acara buka bersama dilanjutkan gelar sastra Ramadhan dan tolak Klaim Malaysia di sanggar Gaperto Mlonggo Jepara.
Selain memenuhi agenda rutin tiga kali dalam setahun, acara ini juga sekaligus untuk memberikan pengertian kepada seluruh masyarakat sekitar tentang keberadaan kekayaan Indonesia yang diklaim Malaysia. Kemudian juga merupakan suatu bentuk kontribusi kepada masyarakat yang merasa terganggu selama proses berkesenian di sebuah kampung. Sehingga masyarakat merasa mendapat ganti rugi dalam bentuk tontonan gratis dari sanggar yang dikelola sejak 12 tahun lalu itu.
”Klaim terhadap tari Pendet Bali serta karya budaya lainnya bukanlah persoalan yang harus dihadapi oleh sekelompok masyarakat tradisional setempat, malainkan sudah menjadi persoalan seluruh bangsa Indonesia karena karya budaya tersebut sudah termasuk karya budaya masyarakat yang sudah menjadi milik bersama (publick domain). Sehingga, baik secara sadar ataupun tidak, kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan melestarikannya”.
Sebagai lembaga yang memiliki konsen terhadap keberadaan seni budaya, Celcius merasa prihatin terhadap sikap Malaysia yang semakin kebablasan. Akan tetapi, mungkin perlu dilihat pula sabab musabab kenapa sampai terjadi klaim yang begitu banyak atau bahkan secara massal terhadap aset atau kekayaan budaya Indonesia oleh satu Negara.
Tidak terbayangkan, seberapa banyak jika ada negara-negara lain yang juga mengklaim kekayaan budaya Indonesia yang tidak diklaim oleh Malaysia. Artinya, jika ini dibiarkan, Indonesia akan semakin habis kekayaannya hanya karena terlalu permisif terhadap sikap-sikap orang asing yang mencuri kekayaan kita.
Hal ini yang mestinya diperhatikan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah tertentu untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap eksploitasi karya budaya masyarakat oleh pihak asing. Semoga dengan dukungan seluruh masyarakat, siapapun yang terlibat dalam pengambilan sikap dan atau keputusan terhadap kehilangan kekayaan budaya ini, menjadi tergugah untuk menjadi lebih berani. Tidak seperti katak dalam tempurung.
“Tidak salah jika dikatakan bahwa semakin maju, negeri kita semakin kehilangan wajah sendiri. Artinya, kalau jaman dahulu hanya dengan bambu runcing, bangsa kita menjadi bangsa yang perkasa mengusir penjajah. Tetapi ketika kita sudah sama-sama memiliki senjata lengkap, kenapa harus takut melawan negara lain yang melecehkan harga diri kita”
Salah satu upaya untuk membangun kekuatan dan membangkitkan semangat juang, Celcius bersama para pekerja seni Jepara, selain mendekatkan diri dengan sang pencipta dengan sajak-sajak religiusnya di tengah bulan suci Ramadhan ini juga mengumandangkan sajak-sajak cinta bangsa, budaya dan Negara Indonesia.
Seperti puisi karya Ketua LSM Celcius dan pengasuh Sanggar Seni Gaperto, Didid Endro S, yang berjudul Indonesiaku, Jangan Menagis ketika dibawanya dalam orasi tentang penolakan terhadap Klaim Malaysia, mengungkapkan tentang semangat dan ajakan membela Indonesia untuk merebut hak-haknya sehingga tidak mudah dilecehkan Negara lain. Apalagi sebelum membacakan puisinya, Didid mendahului dengan orasi yang disusul dengan lagu Indonesia Pusaka oleh group musik Wedang Rondho sebagai ilustrasinya. Sontak seluruh peserta turut berdiri dengan mengibarkan bendera merah dan putih serta mengangkat tinggi-tinggi poster-poster yang ada.
Selanjutnya disusul sajak-sajak dari anak-anak teater Kusuma dan para penyair muda Jepara lainnya yang tidak berbeda jauh muatannya, yakni semangat bela bangsa serta ada pula yang bertanya tentang kenapa dan di mana saja Punggawa Praja Indonesia selama ini sehingga asetnya begitu mudah dicuri oleh orang lain.
Selain pertunjukan puluhan sajak, acara tersebut juga dilengkapi dengan orasi Ketua RT setempat, H. Ahmad Marchum dan anggota DPR Jepara, Sugiyono dipadu dalam satu kolaborasi seni yang apik sehingga tidak kurang dari 400 penonton dari masyarakat sekitar merasa benar-benar terhibur dan sesekali keluarkan celetukan-celetukan ketus terhadap sikap Malaysia.
Kemudian beberapa poster berukuran besar bertuliskan “20 lebih kekayaan Indonesia dicolong Malaysia. Hanya satu kata LAWAN” “I Love Indonesia, Ganyang Malaysia”, Malaysia Negeri para Maling” juga mewarnai aksi dalam kemasan gelar sastra tersebut..
“Kami hanya sekedar mengkampanyekan kepada publik bahwa Indonesia saat ini sedang dilanda derita sehingga secara bersama-sama kita untuk bangkit dan menghapus derita tersebut dengan merebut kembali kekayaan yang dicuri negara lain”
Kalau yang lain bisa, kenapa kita tidak? Apalagi kekayan Jepara berupa seni kerajinan mebel ukir juga telah diklaim oleh orang Inggris. Bangkitlah Jeparaku, bangkitlah Indonesiaku. Satu bangsa, satu budaya, budaya Indonesia.

Sabtu, 05 September 2009

TOLAK MALAYSIA

Gelar Sastra Tolak Klaim Malaysia
Dari RT Hingga DPR

Persoalan klaim terhadap aset Negara Indonesia berupa karya budaya masyarakat adalah persoalan seluruh bangsa di mana persoalan ini juga harus diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa harus memilah siapa mereka. Besar kecil, tua muda, kaya miskin, pejabat ataupun rakyat kecil sekalipun. Jika persoalan ini hanya diketahui oleh pejabat atau orang-orang tertentu yang dinilai berkompeten, tentu tidak akan bisa diselesaikan.
Terkait dengan hal tersebut, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Colaboration of Ecology and Centre Information to Us (Celcius) – lingkungan dan seni budaya – bersama Gaperto Art Community dan Teater Kusuma serta didukung pekerja seni Jepara menggelar acara buka bersama dilanjutkan gelar sastra Ramadhan dan tolak Klaim Malaysia di sanggar Gaperto Mlonggo Jepara.
Selain memenuhi agenda rutin tiga kali dalam setahun, acara ini juga sekaligus untuk memberikan pengertian kepada seluruh masyarakat sekitar tentang keberadaan kekayaan Indonesia yang diklaim Malaysia. Kemudian juga merupakan suatu bentuk kontribusi kepada masyarakat yang merasa terganggu selama proses berkesenian di sebuah kampung. Sehingga masyarakat merasa mendapat ganti rugi dalam bentuk tontonan gratis dari sanggar yang dikelola sejak 12 tahun lalu itu.
”Klaim terhadap tari Pendet Bali serta karya budaya lainnya bukanlah persoalan yang harus dihadapi oleh sekelompok masyarakat tradisional setempat, malainkan sudah menjadi persoalan seluruh bangsa Indonesia karena karya budaya tersebut sudah termasuk karya budaya masyarakat yang sudah menjadi milik bersama (publick domain). Sehingga, baik secara sadar ataupun tidak, kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan melestarikannya”.
Sebagai lembaga yang memiliki konsen terhadap keberadaan seni budaya, Celcius merasa prihatin terhadap sikap Malaysia yang semakin kebablasan. Akan tetapi, mungkin perlu dilihat pula sabab musabab kenapa sampai terjadi klaim yang begitu banyak atau bahkan secara massal terhadap aset atau kekayaan budaya Indonesia oleh satu Negara.
Tidak terbayangkan, seberapa banyak jika ada negara-negara lain yang juga mengklaim kekayaan budaya Indonesia yang tidak diklaim oleh Malaysia. Artinya, jika ini dibiarkan, Indonesia akan semakin habis kekayaannya hanya karena terlalu permisif terhadap sikap-sikap orang asing yang mencuri kekayaan kita.
Hal ini yang mestinya diperhatikan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah tertentu untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap eksploitasi karya budaya masyarakat oleh pihak asing. Semoga dengan dukungan seluruh masyarakat, siapapun yang terlibat dalam pengambilan sikap dan atau keputusan terhadap kehilangan kekayaan budaya ini, menjadi tergugah untuk menjadi lebih berani. Tidak seperti katak dalam tempurung.
“Tidak salah jika dikatakan bahwa semakin maju, negeri kita semakin kehilangan wajah sendiri. Artinya, kalau jaman dahulu hanya dengan bambu runcing, bangsa kita menjadi bangsa yang perkasa mengusir penjajah. Tetapi ketika kita sudah sama-sama memiliki senjata lengkap, kenapa harus takut melawan negara lain yang melecehkan harga diri kita”
Salah satu upaya untuk membangun kekuatan dan membangkitkan semangat juang, Celcius bersama para pekerja seni Jepara, selain mendekatkan diri dengan sang pencipta dengan sajak-sajak religiusnya di tengah bulan suci Ramadhan ini juga mengumandangkan sajak-sajak cinta bangsa, budaya dan Negara Indonesia.
Seperti puisi karya Ketua LSM Celcius dan pengasuh Sanggar Seni Gaperto, Didid Endro S, yang berjudul Indonesiaku, Jangan Menagis ketika dibawanya dalam orasi tentang penolakan terhadap Klaim Malaysia, mengungkapkan tentang semangat dan ajakan membela Indonesia untuk merebut hak-haknya sehingga tidak mudah dilecehkan Negara lain. Apalagi sebelum membacakan puisinya, Didid mendahului dengan orasi yang disusul dengan lagu Indonesia Pusaka oleh group musik Wedang Rondho sebagai ilustrasinya. Sontak seluruh peserta turut berdiri dengan mengibarkan bendera merah dan putih serta mengangkat tinggi-tinggi poster-poster yang ada.
Selanjutnya disusul sajak-sajak dari anak-anak teater Kusuma dan para penyair muda Jepara lainnya yang tidak berbeda jauh muatannya, yakni semangat bela bangsa serta ada pula yang bertanya tentang kenapa dan di mana saja Punggawa Praja Indonesia selama ini sehingga asetnya begitu mudah dicuri oleh orang lain.
Selain pertunjukan puluhan sajak, acara tersebut juga dilengkapi dengan orasi Ketua RT setempat, H. Ahmad Marchum dan anggota DPR Jepara, Sugiyono dipadu dalam satu kolaborasi seni yang apik sehingga tidak kurang dari 400 penonton dari masyarakat sekitar merasa benar-benar terhibur dan sesekali keluarkan celetukan-celetukan ketus terhadap sikap Malaysia.
Kemudian beberapa poster berukuran besar bertuliskan “20 lebih kekayaan Indonesia dicolong Malaysia. Hanya satu kata LAWAN” “I Love Indonesia, Ganyang Malaysia”, Malaysia Negeri para Maling” juga mewarnai aksi dalam kemasan gelar sastra tersebut..
“Kami hanya sekedar mengkampanyekan kepada publik bahwa Indonesia saat ini sedang dilanda derita sehingga secara bersama-sama kita untuk bangkit dan menghapus derita tersebut dengan merebut kembali kekayaan yang dicuri negara lain”
Kalau yang lain bisa, kenapa kita tidak? Apalagi kekayan Jepara berupa seni kerajinan mebel ukir juga telah diklaim oleh orang Inggris. Bangkitlah Jeparaku, bangkitlah Indonesiaku. Satu bangsa, satu budaya, budaya Indonesia.


Indonesiaku, Jangan menangis

merah putih tetap terjaga
meski malaysia mencoba meraba
merobek sedikt warna
Indonesia Raya terkoyak
Garuda Pancasila terinjak
siapa merasa
anak bangsa murka
kepalkan tangan
hantamkan perkasa
ledakkan malaysia
ini ulah siapa
hingga negeri diam terhina
atau inikah makna MERDEKA ?
tidak!!!!!
kembalikan kedaulatan rakyat
rovolusi harus terjadi
tak sudi lemah
di ketiak penghianat negeri
GANYANG MALAYSIA...............
bummmmm..................
sebutir labu baja menimpa
kami tak bisa dipandang hina

Didid Endro S…..08/2009

Selasa, 01 September 2009

Perlindungan Folklor Jepara

TINJAUAN KRITIS TERHADAP
PERLINDUNGAN FOLKLOR
DI KABUPATEN JEPARA
Oleh : Didid Endro S.

“Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti : cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. (pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002)

Kemudian dijelaskan pula bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
Sedang folklor dimaksudakan adalah sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh sekelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standard an nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Mengacu dari hal di atas, sebenarnya sudah semakin jelas dan terbuka bahwa Pemerintah memiliki peran penting dalam upaya perlindungan dan pelestarian nilai-nilai budaya yang ada. Peran Pemerintah di sini terkandung maksud bahwa secara substansif pemerintah sebagai pemegang Hal Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Dengan demikian pemegang Hak Ciptalah yang semestinya berupaya keras atas kembalinya karya cipta yang dimilikinya ketika terjadi eksploitasi dari pihak asing.
Seperti yang terjadi di Jepara misalnya. Beberapa produk seni kerajikan mebel ukir maupun asesoris lainnya telah dicuri Hak Cipta dan Desain Produknya oleh pengusaha asing asal Inggris, Cristhoper Harrison. Akibat dari klaim Hak Cipta tersebut, tentu akan berpengaruh pada penurunan produktifitas industri kerajinan mebel ukir di Jepara serta mematikan market mebel ukir Jepara di maca negara.
Kejadian ini bermula dari sikap orang asing yang mendaftarkan buku katalog ke Kantor Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Pusat di Jakarta. Buku katalog yang didaftarkan oleh orang asing tersebut memuat gambar mirror frame (figura cermin), mebel dan asesoris lain bermotifkan ukiran yang sudah berkembang dan membudaya di Jepara sejak berpuluh tahun sebelum buku katalog tersebut didaftarkan Hak Ciptanya.
Setelah mendapatkan Surat Daftar Ciptaan dari Kantor HAKI, orang asing tersebut memaknainya terlalu berlebihan sehingga menganggap memiliki Hak Cipta serta Desain Produk seluruh gambar yang ada di dalamnya. Hal ini terbukti ketika ada salah satu pengusaha Jepara yang memproduk barang-barang seperti dalam katalog tersebut dilaporkan ke pihak Kepolisian dengan tuduhan penjiplakan Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Bahkan salah satu pengusaha asing juga menjadi korban atas klaim tersebut.
Selain akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan industri mebel ukir Jepara, klaim Hak Cipta tersebut juga dapat menimbulkan gejolak sosial yang sangat tinggi. Kemudian juga akan berdampak pula pada pelestarian budaya bangsa yang secara prinsip memiliki nilai ekonomi tinggi. Artinya, sikap orang asing yang seperti ini tentu sangat berpotensi atas kerusakan dan kepunahan karya budaya masyarakat yang merupakan warisan leluhur.
Kendati demikian, nilai ekonomi yang terkandung dalam karya budaya masyarakat tersebut menjadi tidak tampak akibat kurangnya kepedulian serta pemahaman pemerintah terhadap eksistensinya. Tentu menjadi sangat naib jika hal serupa tidak segera terselesaikan dengan baik. Ada perbedaan yang sangat menyolok memang antara orang asing dengan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah penghargaan terhadap hak intelektual. Orang asing sangat menghargai karya cipta orang lain sementara di negeri kita belum tampak atau bahkan tidak ada sama sekali penghargaan terhadap itu.

Penegakan Hukum
Dalam upaya perlindungan karya budaya masyarakat, tentu tidak bisa lepas dari proses penegakkan hukum yang ada. Akan tetapi, terkait dengan pemahaman terhadap Hak Cipta atas folklor, mungkin perlu dilakukan persamaan persepsi agar tidak terjadi ketimpangan dalam penyelesaian ketika terjadi permasalahan.
Selama ini masih terjadi kesalahan fatal para penegak hukum dalam terhadap substansi Hak Cipta. Mereka masih menganggap Hak Cipta adalah Paten. Padahal secara prinsip sangat berbeda jauh. Hal ini terbukti ketika muncul kasus eksploitasi dan komersialisasi folklor Jepara oleh orang asing.
Selama empat tahun ini, kasus tersebut belum bisa terselesaiakan dengan baik. Ini suatu bukti bahwa penegakan hukum tentang Hak Cipta belum pula mendapatkan tempat yang baik pula di mata hukum Indonesia. Selain itu, UUHC yang ada juga belum sepenuhnya memberikan fasilitas kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu gerakan jika terjadi pencurian-pencurian Hak Cipta atas folklor. Bahkan folklor dalam rezim HAKI hanya sebagai pelengkap kekosongan hukum belaka.
Selanjutnya, mungkin perlu adanya aksi riil terhadap eksistensi folklor dalam rezim HAKI. Salah satunya yang paling utama adalah refisi Undang-undang Hak Cipta yang sudah sekian tahun belum diterbitkan pula PP sebagai acuan pelaksanaannya. Sebagai masyarakat yang peduli terhadap karya budaya tradisional dan ekspresi budaya tradisional lainnya, tentu menjadi sangat khawatir jika hukum di Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan eksploitasi dan komersialisasi karya budaya masyarakat di daerah-daerah yang memiliki kekhasan seni budaya tradisional.
Mandeknya kasus yang dilaporkan di Polres Jepara, juga merupakan tambahan bukti tentang belum adanya penegakkan hukum yang pasti terhadap kasus pencurian atau klaim Hak Cipta atas folklor Jepara. Apalagi kebijakan pihak Direktotar Jenderal HAKI yang menerbitkan Surat Daftra Ciptaan serta kemudian menghilangkan berkas permohonan Hak Cipta milik Cristhoper Harrison.
Bukan suatu hal yang ngoyo woro jika pada akhirnya muncul asumsi atau pertanyaan dari masyarakat yang peduli terhadap karya-karya budaya tradisional “ada apa dengan HAKI”. Dari kejadian tersebut, untuk penuntasan kasus pencurian Hak Cipta atas folklor Jepara tentu pihak Direktorat HAKI harus lebih bisa ambil peranan dalam upaya pembatalan atau pencabutan Hak Cipta milik Cristhoper Harrison. Jika tidak, siapa yang harus bertangungjawab atas semua ini? Pun tak ada yang berani menjawabnya. Sehingga masyarakat Jepara tetaplah menjadi korban klaim Hak Cipta atas folklornya sendiri serta korban atas “pelacuran moral” oknum yang tidak bertanggungjawab. Apapun alasannya, hal ini harus dituntaskan meski oleh siapapun orangnya.
Selanjutnya, demi masyarakat Jepara dan seluruh bangsa Indonesia, kami menunggu komitmen Dirjen HKI. ***

Penulis adalah :
Art & theatre director Gaperto Art Community
Ketua LSM CELCIUS (lingkungan dan seni budaya)
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim PC NU Jepara
Tinggal di Jepara

Barong Nanggulan

BARONG SINGARAJAN VS BARONG NANGGULAN

Alkisah, setelah Sultan Hadlirin terbunuh dalam pertikaiannya dengan Arya Penangsang, membuat hati Ratu Kalinyamat terpuruk dalam duka mendalam. Kedukaan yang akhirnya mendorong keputusannya untuk menarik diri dari kehidupan ramai, mengurung diri dalam kontemplasi dengan ujud ritual “TAPA WUDA SINJANG RAMBUT”. Sebuah keputusan yang kontra produktif pada saat situasi negara tengah berkonflik dengan Jipang Panolan.

Kontra produktif karena dengan meninggalnya Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat pergi bertapa, membuat pasukan tentaranya bagaikan anak ayam kehilangan induk, tercerai berai tanpa semangat. Mental mereka jatuh sampai titik nadir. Pertahanan Negara menjadi tak terkoordinasi dengan baik, akibatnya rakyat yang menjadi korban, karena gangguan dari pasukan jipang panolan bisa leluasa terutama diwilayah – wilayah perbatasan

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dan kegeraman DATUK SINGARAJA, seorang kepala desa di wilayah Jepara, seorang tokoh kharismatik dan terkenal memiliki segudang “ilmu linuwih”. Istimewa lagi, tokoh ini memiliki peliharaan kesayangan berupa seekor HARIMAU yang tubuhnya hampir sebesar kerbau. Hubungan antara Datuk Singaraja dengan harimaunya tidak sekedar hubungan “Tuan dan binatang peliharaan” tapi lebih berupa hubungan antar dua orang sahabat, karena dimanapun sang datuk berada bisa dipastikan sang harimau juga turut serta. Sang harimau pun lebih dikenal dengan nama BARONG SINGARAJAN

Dengan motivasi “mengingatkan” pasukan Jepara akantugas dan tanggung jawabnya sebagai penjaga ketahanan dan keamanan Negara, Datuk Singaraja sengaja melepas harimaunya untuk membikin kekacauan di berbagai wilayah Jepara. Kekacauan benar – benar terjadi, Barong Singaraja mengamuk, sering dengan terang – terangan memasuki pusat – pusat keramain. Wal hasil, rakyat menjadi ketakutan menyaksikan ada harimau sebesar kerbau keluar masuk kampung seenaknya. Tentu saja beban ketakutan rakyat jadi bertambah, disatu sisi harus menghadapi gangguan dari tentara Jipang panolan, disisi yang lain harus menghadapi amukan harimau.

Memang kondisi ini sebenarnya yang dinginkan sang datuk Singaraja untuk memancing kesadaran pasukan Jepara agar tidak terlalu lama terlelap dalam keterpurukan. Pancingan pun berhasil. Ki Tunggul, komandan pasukan berkuda, segera menyadari kekeliruannya. Sejenak menata diri dan hatinya, Ki Tunggul segera menata pasukan berkudanya, melatih kembali ketrampilan penggunaan senjata, strategi perang dan sebagainya. Sebagai langkah awal, Ki Tunggul mengajak pasukannya untuk menangkap Barong Singarajan yang tengah membuat keributan. Pekerjaan itu dapat diselsaikan dalam waktu singkat, karena pada dasrnya Barong Singarajan hanya ingin membangkitkan semangat kembali pasukan Jepara.

Atas restu Datuk Singaraja, Barong Singarajan akhirnya bergabung dengan pasukan berkudanya Ki Tunggul. Kemudian dengan berbagai pertimbangan, pasukan ki Tunggul bersama Barong Singaraja memutuskan untuk menyerang lebih dulu pasukan Jipang Panolan, akan tetapi mengambil taktik “Serangan Samping” dengan jalan memutar arah pergerakan pasukan lewat Bangsri dan masuk Jipang Panolan dari Tayu, bukannya langsung menusuk pertahanan Jipang lewat Kudus. Hal ini dilakukan mengingat saat itu perhatian pasukan Jipang panolan tengah terkonsentrasi ke Demak dan Pajang.

Disamping itu, dengan melewati Bangsri pasukan ki Tunggul bisa sejenak istirahat sekaligus minta restu dan nasehat – nasehat dari ki Gede Bangsri. Akan tetapi sebelum mencapai wilayah Bangsri, tepatnya di wilayah hutan “Mambak Sinanggul” pasukan ki Tunggul di hadang pasukan misterius, berupa segerombolan raksasa / dhemit yang tinggal dihutan tersebut. Pasukan raksasa yang lebih dikenal dengan pasukan DENAWAN ini dipimpin seekor harimau besar yang bernama BARONG NANGGULAN.

Pecah pertempuran pasukan ki Tunggul dengan pasukan Denawan. Semula pasukan ki tunggul tertekan karena koordinasi belum pulih, dan hampir saja mengalami kekalahan. Akan tetapi dengan kesigapan ki Tunggul yang mampu membangkitkan semangat bertempur anak buahnya, akhirnya pasukan Denawan bisa dikalahkan. Disisi lain, Barong Nanggulan bertempur dengan Barong Singarajan. Pertempuan kedua harimau (Barong) ini berlangsung cukup lama dan menegangkan karena keduanya sama – sama sakti mandraguna.

Rupa – rupanya, disamping pertempuran fisik, kedua barong tersebut juga melakukan dialog batin, dimana mereka akhirnya tahu bahwa sebenarnya mereka berkedua adalah SAUDARA. Atas dasar kesadaran dan kesepakatan, akhinya mereka berdua memutuskan untuk MEMBANTU DAN MENGAWAL PASUKAN KI TUNGGUL. Sebagian pasukan Denawan ada yang mengikuti jejak pimpinannya ini, tapi sebagian yang lain menolak dan memilih lari ke wilayah hutan PASETRAN di lereng utara pegunungnan Muria

Kamis, 06 Agustus 2009

Persoalan Hak Cipta Mebel Ukir Jepara

Persoalan Hak Cipta,
Jangan Salahkan Perajin

Berbicara Hak Cipta dan Desain mebel ukir Jepara, sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan, kecuali harus saling memiliki kesadaran atas fungsi dan tugas masing-masing dalam bidang terkait. Jika ada berberapa pihak yang secara sengaja menyalahkan para perajin Jepara karena tidak ada respon (apatis) terhadap persoalan tersebut, tentu tidak seluruhnya dapat dibenarkan.
Menurut Ketua LSM Celcius yang konsen terhadap Lingkungan dan Seni Budaya, Didid Endro S. Persoalan Hak Cipta dan Desain serta yang lainnya adalah persoalan intelektual. Lalu bagaimana para perajin bisa mengerti jika tidak ada penjelasan tentang hal ini ? Lalu, tugas siapa untuk mensosialisasikan tentang arti penting Hak Cipta dan substansi hukumnya.
Jika memang sudah disosialisasikan, kepada siapa saja disosialisasikan atau benarkah sudah melibatkan masyarakat perajin kelas bawah? Selain itu, siapa yang mensosialisasikan atau minimal sudah mengertikah petugas penyuluh tentang prinsip-prinsip Hak Cipta, Desain, dan seterusnya? Karena disadari atau tidak, para perajin hanyalah sebatas melakukan produksi sesuai kebutuhan pasar. Hal ini tentunya untuk memenuhi tuntutan perut mereka berikut para tukang yang bekerja di sana.
Kemudian, hal yang lebih ironis lagi adalah, perkembangan produksi mebel ukir di Jepara sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, bahkan sampai akan kembali lagi memasuki grafik penurunan produksi ( kelesuan), tetapi kenapa baru sekarang persoalan Hak Cipta, Desain atau yang lainnya dibahas ? Jika demikian, masihkah sampai hati menyalahkan perajin?
Mungkin akan menjadi lebih bijak jika di awal kejayaan Jepara di bidang mebel ukir, sudah diantisipasi dengan berbagai kebijakan yang pada intinya memberikan perlindungan terhadap karya-karya seni tradisional yang ada, berikut perkembangan serta inovasinya. Lebih dari itu, mungkin perlu adanya kebijakan tentang perlindungan industri, apapun bentuknya. Karena pada dasarnya, seni tradisi tidak mandek begitu saja. Melainkan selalu mengalami proses perkembangan seiring dengan perkembangan jaman.
“Saya berharap, perajin jangan terlalu disalahkan. Tetapi mari kita saling interospeksi diri, siapa yang lebih berkewenangan dalam hal terkait. Kalau hanya menyalahkan perajin, tentu bukan sikap yang arif atau bahkan dapat dikatakan hanya sekedar mencari kambing hitam karena kita tidak mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi” tegas Ketua LSM Celcius, Didid Endro S.
Seperti ketika munculnya kasus pelanggaran Hak Cipta mebel ukir Jepara yang dilakukan oleh orang asing beberapa waktu lalu, lanjut Didid, para perajin Jepara sangat antusias dan merespon baik. Justeru sebaliknya, dari institusi terkait tidak menunjukkan sikap responsif yang baik. Bahkan dalam kasus tersebut banyak fihak yang belum faham tentang substansi hukumnya, baik penegak hukum maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Hal ini terbukti, ketika menyebutkan Hak Cipta masih dianggap sama dengan Paten. Sementara antara Hak Cipta dengan Paten jelas-jelas sangat jauh berbeda substansinya. Bahkan Undang-undangnya pun juga berbeda. Apalagi, surat somasi yang dikirim oleh orang asing kepada salah satu pengusaha di Jepara yang kemudian berlanjut pada Laporan Polisi, juga menyebut pelanggaran Hak Cipta atas Desain. Tetapi kenapa proses hukum tetap dilanjutkan hingga ada korban-korban lain.
“Ini salah satu bukti bahwa sebenarnya kita sendiri belum sepenuhnya memahami tentang Undang-undang Hak Cipta yang ada. Jadi jangan dulu menyalahkan siapapun jika kita sendiri belum memahami persoalan yang ada”, tambah Didid.
Kemudian Lembaga Seni Budaya (Lesbumi)) NU Jepara menuturkan bahwa keinginan perajin untuk tetap melindungi dan melestarikan meubel ukir Jepara sebenarnya sangat tinggi, hanya saja terbentur pada sosialisasi yang tidak merata dan kurang mengena di masyarakat tingkat bawah sebagai produsen mebel ukir yang ada. Hal itu bisa di lihat masih banyak pelaku bisnis meubel ukir yang tidak paham dan kurang mengerti akan arti pentingnya Hak Cipta serta hak-hak terkait di dalamnya.
“Ini lebih pada persoalan pemahaman, bukan berarti tidak pedulu tetapi mereka benar-benar belum mengerti”, tandas Koordinator Program PC. Lesbumi, Ali Rozi,SN
Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk lagi, Ali Rozi mengharapkan adanya jalinan kerja sama yang baik antara institusi terkait dengan perajin dan masyarakat untuk menghindari persaingan bisnis yang tidak sehat ditingkatan bawah sehingga kulitas produk tetap terjaga. ***