Sabtu, 27 September 2008

Foto Aksi Hari HKI Se-Dunia 2007




Aksi Hari HKI se- Dunia ini dilakukan tanggal 26 April 2007 oleh LSM Celcius Jepara dengan spanduk sepanjang 60 m dan diikuti oleh seratus lebih pendukung celcius dalam upayanya menuntaskan kasus Hak Cipta mebel ukir yang diklaim orang asing sejak 2005 lalu.
Aksi ini digelar mulai dari kecamatan mlonggo berjalan dengan kendaraan bermotor menuju pusat kota Jepara. Kemudian spanduk dibentangkan mengitari alun-alun kota Jepara sedang peserta lain menyebarkan pamflet tentang apa itu folklor dan terjadinya pencurian Hak Cipta folklor Jepara berupa mebel ukir.
Selanjutnya peserta aksi berjalan menuju kantor DPRD dengan spanduk terbentang di sepanjang jalan. Orasi pun dilakukan di halaman kantor DPDR Jepara yang pada intinya meminta DPR untuk bisa sedikit berfikir bagaimana solusinya untuk menyelesaikan kasus tersebut. Karena apapun alasannya, mebel ukir merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara. Selain itu, Jepara bisa seperti sekarang ini salah satunya adalah dampk dari hasil industri mebel ukir yang sudah membudaya sejak berpuluh tahun silam sebelum kita dilahirkan.
Sementara itu, untuk melanjutkan proses hukumnya, celcius juga meminta kepada Polres Jepaar untuk segera menindaklanjuti DPO yang sudah diterbitkan

Surat DPO Pelaku Kasus HKI - Polres Jepara


Daftar Pencarian Orang (DPO) Pelaku eksploitasi dan komersialisasi Hak Cipta folklor Jepara berupa mebel ukir ini diterbitkan pada 21 Februari 2007. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Pelaku benar terbukti bersalah.

Kasus HKI Belum Tuntas


Jepara-CL,
SUDAH genap satu tahun, kasus Hak Cipta mebel ukir Jepara yang ditangani Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Celcius hingga saat ini belum tuntas juga. Kasus tersebut sebenarnya perlu pemahaman yang seksama dari berbagai pihak termasuk Pemerintah, penegak hukum dan seluruh masyarakat.
Dari berbagai pemaparan yang dilakukan Celcius, secara prinsip sudah jelas bahwa mebel ukir merupakan hasil kerajinan rakyat Jepara yang dilakukan secara turun temurun sejak berberapa puluh tahun silam. Tetapi karena sebuah keteledoran, bermacam produk figura cermin (mirror frame), asesoris dan mebel bermotifkan ukiran, Hak Cipta dan Desainnya berhasil diklaim oleh warga Inggris, Cristopher Harrison sejak 14 Juni 2004 dengan Surat Daftar Ciptaan berupa sebuah buku katalog yang memuat ratusan gambar produk fiura, asesoris dan mebel bermotifkan ukiran.
Menurut keterangan pihak Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Departemen Hukum dan HAM RI, semua jenis produk yang sudah menjadi milik umum tidak bisa diakui oleh siapapun baik Hak Cipta maupuna Desainnya.
“Apalagi, katalog yang diciptakan oleh Cristopher Harrison di dalamnya memuat unsur folklor milik rakyat Jepara. Ini merupakan tindakan yang terlalu berani”, tegas Direktur Hak Cipta Dirjen HAKI, Ansori Sinungan.
Selain itu, dalam Ayat (2) Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ditegaskan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Folklor dimaksud adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh klompok maupun perorangan dalam masyarakat yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Dalam rangka untuk melindunginya, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersialisasi tanpa seijin negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayan tersebut.
Dari hal tersebut sudah jelas bahwa yang dilakukan pemilik PT. Harrison & Gil-Java, Cristopher Harrison adalah merupakan tindakan eksploitasi, komersialisasi, dan memonopoli folklor Jepara. Karena selain dalam katalog tercantum price lock (kunci harga) pada masing-masing gambar produk dalam semua jenis ukuran, pihaknya juga telah melaporkan warga Jepara ke pihak Polisi dengan tuduhan telah menjiplak Hak Cipta dan Desain Produk miliknya.
Diakui atau tidak, dari tindakan tersebut tentu sangat merugikan masyarakat Jepara yang sebagian besar hidup dari industri mebel ukir. Apalalgi sejak dilaporkannya ke Polres Jepara, mulai pertengahan tahun 2005 hingga sekarang, pengusaha tersebut tidak berani melakukan ekspor atas produk-produknya.

Janji Polres Belum Dipenuhi

Sejak Desember 2005, kasus dugaan eksploitasi folklor tersebut sudah dikawal oleh Celcius bahkan pada 25 April 2006 sudah dilaporkan ke Polres Jepara. Tapi tampaknya hingga sekarang juga belum ada kejelasan tentang tindak lanjutnya. Seperti janji yang disampaikan Wakapolres, Kompol Indra, SIK didampingi Penyidik Aiptu Simon Kartono, SH.MH kepada Celcius, pihaknya akan srius menindaklanjuti laporan tersebut. Bahkan akan memasukkan Cristoipher Harrison dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) jika tidak memenuhi panggilan dari pihak Polres untuk diperiksa.
Sebagai Institusi Penegak Hukum di kota Jepara, Polres seharusnya segera menindaklanjuti kasus tersebut secara profesional dan mestinya secara moral pun turut merasakan dampaknya. Salah satu alasan yang disampaikan pihak Polres atas kelambatan penanganan kasus ini adalah, pihak Cristopher Harrison saat ini masih berada di Singapura sehingga pihak Polres kesulitan untuk mendatangkannya.
Menurut salah satu saksi ahli LSM Celcius, Guru Besar dan Dosen Seni Rupa Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia (ISI ) Yogyakarta, Prof. Drs. SP.Gustami, SU, sebenarnya substansi kasus tersebut sudah sangat jelas, sehingga pihak Polres tidak harus menunda-nunda lagi dalam mengambil tindakan demi kelangsungan hidup masyarakat Jepara.
“Saya kan sudah menjelaskan kepada mereka bahwa gambar-gambar yang diklaim Cristopher itu adalah memuat unsur folklor Jepara. Kenapa tidak ditindaklanjuti”, ungkap penulis buku Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara ini.
Selain itu, lanjut Gustami, beberapa perajin juga sudah diperiksa oleh Penyidik dan mereka juga memberikan keterangan bahawa mereka sudah berpuluh tahun membuat produk seperti yang ada dalam katalog milik Harrison. Artinya, produk-produk yang Hak Cipta dan Desainnya diklaim oleh orang Inggris tersebut benar-benar folklor masyarakat Jepara.
“Saya tingal menunggu saja kabar baik dari Jepara tentang upaya perlindungan budaya ini. Tapi kalau tidak ada keseriusan, Celcius punya hak untuk melanjutkan ke Institusi yang lebih tinggi”, tegasnya.

Sabtu, 20 September 2008

PERLINDUNGAN HUKUM

Perlindungan Hukum atas Kekayaan Intelektual

Oleh Fajar Aprianto *

IDE yang lahir dari intelektualitas seseorang pada dasarnya merupakan kekayaan intelektual. Sangat penting dilindungi oleh hukum agar tidak "di-rampas" orang lain. Upaya pemberian perlindungan hukum terhadap pemilik/ penemu ide baru dikenal dengan istilah hak paten.

Dengan memiliki hak paten, penemu/ peneliti memiliki hak monopoli selama waktu tertentu atas penemuannya. Orang lain tidak diperkenankan mengopi tanpa ada kompensasi untuk penemunya. Selain itu, hak paten diupayakan me-lindungi investasi yang telah digunakan dalam penelitian dan pengembangan suatu produk. proses dan pengembang­an teknologinya. Suatu penemuan baru yang telah diberikan hak patennya harus diungkapkan kepada masyarakat, se-hinggaorang lain bisamempelajarinya.

Dengan demikian, hak paten bisa memperkay a pengetahuan masyarakat. Masyarakat pun bisa menggunakannya secara bebas, apabila paten tersebut sudah tidak berlaku.

Pengakuan atas penemuan itu pada saat yang sama akan mendukung per- j tumbuhan karya intelektual. Menurut i hasil survei terhadap 710 penemu (in-1 ventor) di AS mengenai motivasi pene-j mu itu sehingga menghasilkan karya-, karya inovatif, terdapat delapan moti-1 vasi. Yakni, kesenangan melakukan kegiatan penemuan (love a/inventing), hasrat untuk melakukan pembaruan (desire to improve), perolehan keun-tungan (financial gain), dorongan k-e-butuhan (necessity or need), hasrat un­tuk berprestasi (desire to achieve), bangga pekerjaan (part of work), pres-tise, dan alasan altruistik demi kebaikan semata (altruistic reasons).

Di antara delapan alasan tersebut, motivasi untuk memperoleh keuntung-an merupakan faktorutama yang men-jadi pendorong seseorang menciptakan karya kreatif yang baru. Sebab, pene­muan baru memiliki nilai komersial dan menghasilkan uangbiladipatenkan dan layak dipasarkan. Ketika berkaca pada kondisi Indone­sia, kita kemudian disodori kenyataan tentang minimnya perhatian bangsa ini terhadap pentingnya hak atas ke­kayaan intelektual (HaKI), khususnya masalah hak paten. Seseorang pernah menulis, kondisi Indonesia ini seperti air raksa di atas bidang datar: menjadi anomali. Secara umum, perhatian ter­hadap paten berciri bergelombang menurun (naik sedikit dan turun terus), lantas menuju ketertinggalan.

Kondisi tersebut setidaknya bisa dili-hatdari statistikjumlah paten domestik, yaitu jumlah paten yang diajukan warga negara Indonesia ke Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Pada 1994, misalnya, jum­lah permintaan paten domestik sekitar 3,15 persen di antara 2.383 total per­mintaan paten domestik dan asing. Dibandingkan sesama negara ASEAN saja, Indonesia menempati posisi paling rendah dalam kepemilik-an hak paten. Meski terjadi kenaikan jumlah pencatatan paten pada 1997 dan 1998,masing-masing 159 dan 202 paten, persentasenya sangat rendah dibandingkan jumlah paten yang diajukan pihak asing ke Indonesia.

Dalam hal komersialisasi hasil lit-bang,tingkatkomersialisasi di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi masih relatif rendah. Di seluruh lembaga litbang pemerintah selama 2000-2004, di-antara sejumlah paten yang telah terdaftar, hanya 16 paten yang terkomersialisasi. Sementara itu, selama 2001 -2004, di sektor perguruan tinggi, di-antara 213 fakultas dan lemlit, hanya terdapat dua paten dan delapan produk yang terkomersialisasi.

Faktor yang paling menentukan dari rendahnya kepemilikan HaKI oleh bangsa Indonesia adalah belum tingginy a buday a mencipta bangsa kita, sehingga hasi 1 temuanny a juga sedikit. Budaya itu hanya akan tumbuh dan berkembang apabila pemerintah serta masyarakat memberikan pengakuan dan penghargaan yang layak kepada karya-karya intelektual.

Rendahnya HaKI yang dimiliki bangsa Indonesia juga berkaitan dengan sifat masyarakat kita yang oleh para sosiolog dianggap masih bersifat komunal. Secarafilosofis, HaKI diang­gap merupakan refleksi masyarakat yang indivisualistik.

Penyebab lain adalah adanya ang-gapan bahwa penemuan yang layak dipatenkan hanyalah yang canggih-canggih, biaya pengurusannya mahal, waktu pemprosesannya berbelit-belit dan lama, serta keraguan terhadap hasil temuan yang dipatenkan akan bisa dikomersialkan.

Para peneliti juga-Bering kesulitan merumuskan bahasa teknologi ke dalam bahasa hukum yang harus ditulis secara rinci. Masalah lain adalah belum tercip-tanya mata rantai yang menghubungkan peneliti dan dunia usaha di Indonesia.

Indonesia banyak menanggung keru-gian akibat rendahnya kesadaran mema-tenkan hasil penelitian. Salah satunya, membuat banyak potensi pendapatan yang seharusny a didapatkan dari roy alti terbang ke luar negeri.

Padahal, banyak negara yang memiliki keterbatasan sumber daya alam justru kaya raya hanya dari royalti barang yang menjadi hak patennya. Itu masih ditambah banyaknya ahli yang memilih bekerjadi luar negeri karena pemerintah dianggap kurang menghargai keahlian serta profesionalisme mereka.

Jadi, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis. Yaitu, meningkatkan kesadaran publik tentang arti dan fungsi paten/HaKI. Sasaran so-sialisasi adalah berbagai lapisan dan kalangan masyarakat, terutama kalang-an peneliti. Hal itu penting untuk lebih menghargai para pihak yang telah bersusah payah bekerja dan mengada-kan penelitian, namun akhirnya tidak mendapatkan hasil memadai.

* Fajar Aprianto, mahasiswa Fisipol UGM

Persoalan Hak Cipta

Persoalan Hak Cipta,

Jangan Salahkan Perajin

Berbicara Hak Cipta dan Desain mebel ukir Jepara, sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan, kecuali harus saling memiliki kesadaran atas fungsi dan tugas masing-masing dalam bidang terkait. Jika ada berberapa pihak yang secara sengaja menyalahkan para perajin Jepara karena tidak ada respon (apatis) terhadap persoalan tersebut, tentu tidak seluruhnya dapat dibenarkan.

Menurut Ketua LSM Celcius yang konsen terhadap Lingkungan dan Seni Budaya, Didid Endro S. Persoalan Hak Cipta dan Desain serta yang lainnya adalah persoalan intelektual. Lalu bagaimana para perajin bisa mengerti jika tidak ada penjelasan tentang hal ini ? Lalu, tugas siapa untuk mensosialisasikan tentang arti penting Hak Cipta dan substansi hukumnya.

Jika memang sudah disosialisasikan, kepada siapa saja disosialisasikan atau benarkah sudah melibatkan masyarakat perajin kelas bawah? Selain itu, siapa yang mensosialisasikan atau minimal sudah mengertikah petugas penyuluh tentang prinsip-prinsip Hak Cipta, Desain, dan seterusnya? Karena disadari atau tidak, para perajin hanyalah sebatas melakukan produksi sesuai kebutuhan pasar. Hal ini tentunya untuk memenuhi tuntutan perut mereka berikut para tukang yang bekerja di sana.

Kemudian, hal yang lebih ironis lagi adalah, perkembangan produksi mebel ukir di Jepara sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, bahkan sampai akan kembali lagi memasuki grafik penurunan produksi ( kelesuan), tetapi kenapa baru sekarang persoalan Hak Cipta, Desain atau yang lainnya dibahas ? Jika demikian, masihkah sampai hati menyalahkan perajin?

Mungkin akan menjadi lebih bijak jika di awal kejayaan Jepara di bidang mebel ukir, sudah diantisipasi dengan berbagai kebijakan yang pada intinya memberikan perlindungan terhadap karya-karya seni tradisional yang ada, berikut perkembangan serta inovasinya. Lebih dari itu, mungkin perlu adanya kebijakan tentang perlindungan industri, apapun bentuknya. Karena pada dasarnya, seni tradisi tidak mandek begitu saja. Melainkan selalu mengalami proses perkembangan seiring dengan perkembangan jaman.

“Saya berharap, perajin jangan terlalu disalahkan. Tetapi mari kita saling interospeksi diri, siapa yang lebih berkewenangan dalam hal terkait. Kalau hanya menyalahkan perajin, tentu bukan sikap yang arif atau bahkan dapat dikatakan hanya sekedar mencari kambing hitam karena kita tidak mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi” tegas Ketua LSM Celcius, Didid Endro S.

Seperti ketika munculnya kasus pelanggaran Hak Cipta mebel ukir Jepara yang dilakukan oleh orang asing beberapa waktu lalu, lanjut Didid, para perajin Jepara sangat antusias dan merespon baik. Justeru sebaliknya, dari institusi terkait tidak menunjukkan sikap responsif yang baik. Bahkan dalam kasus tersebut banyak fihak yang belum faham tentang substansi hukumnya, baik penegak hukum maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Hal ini terbukti, ketika menyebutkan Hak Cipta masih dianggap sama dengan Paten. Sementara antara Hak Cipta dengan Paten jelas-jelas sangat jauh berbeda substansinya. Bahkan Undang-undangnya pun juga berbeda. Apalagi, surat somasi yang dikirim oleh orang asing kepada salah satu pengusaha di Jepara yang kemudian berlanjut pada Laporan Polisi, juga menyebut pelanggaran Hak Cipta atas Desain. Tetapi kenapa proses hukum tetap dilanjutkan hingga ada korban-korban lain.

“Ini salah satu bukti bahwa sebenarnya kita sendiri belum sepenuhnya memahami tentang Undang-undang Hak Cipta yang ada. Jadi jangan dulu menyalahkan siapapun jika kita sendiri belum memahami persoalan yang ada”, tambah Didid.

Kemudian Lembaga Seni Budaya (Lesbumi)) NU Jepara menuturkan bahwa keinginan perajin untuk tetap melindungi dan melestarikan meubel ukir Jepara sebenarnya sangat tinggi, hanya saja terbentur pada sosialisasi yang tidak merata dan kurang mengena di masyarakat tingkat bawah sebagai produsen mebel ukir yang ada. Hal itu bisa di lihat masih banyak pelaku bisnis meubel ukir yang tidak paham dan kurang mengerti akan arti pentingnya Hak Cipta serta hak-hak terkait di dalamnya.

“Ini lebih pada persoalan pemahaman, bukan berarti tidak pedulu tetapi mereka benar-benar belum mengerti”, tandas Koordinator Program PC. Lesbumi, Ali Rozi,SN

Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk lagi, Ali Rozi mengharapkan adanya jalinan kerja sama yang baik antara institusi terkait dengan perajin dan masyarakat untuk menghindari persaingan bisnis yang tidak sehat ditingkatan bawah sehingga kulitas produk tetap terjaga. *** Didid Endro S.

Patih Sunging Badhar Dhuwung

Patih Sungging Badhar Dhuwung

Sebuah Penggalan Sejarah

BERBICARA kelahiran kerajinan tangan seni mebel ukir di Jepara, tentu tidak akan melupakaan salah satu sosok pahlawan serta pemuka agama ketika dulu. Beliau adalah Syeh Muhayat Syah (sekarang dikenal dengan Sultan Hadlirin) kenapa demikian ? Berikut sedikit penggalan sejarahnya yang mungkin berguna bagi semuja kalangan masyarakat.

Syeh Muhayat Syah adalah seorang dari Aceh, ia berguru ke negeri Cina Daratan dan di sana ia diambil anak angkat oleh dua orang ahli dalam strategi perang dan mereka adalah kakak beradik yaitu Thae Lin Sing dan Chiwi Guan.

Setelah merasa cukup berguru di Cina Daratan, Muhayat Syah pun hendak pulang ke negerinya. Akan tetapi dalam perjalanannya, ia bersama 4 kapal yang memuat periuk asli dari Dynasti Yuan terdampar di perairan Jepara. Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya di bumi Jepara, terdengar ada sayembara yang konon diselenggarakan oleh Retno Kencono, seorang Putri cantik jelita dan pemberani.

Isi sayembara tersebut adalah “sopo sing iso ngalahno aku, yen lanang aku bakal suwito sak lawase yen wadon tak daku sedulur sinoro wedi” (barang siapa yang bisa mengalahkannya, kalo laki-laki akan dijadikan suami dan kalao perempuan akan diangkat menjadi saudara kandungnya)

Mendengar ada sayembara, Syeh Muhayat Syah menyamar sebagai orang biasa dan mencoba mengikuti sayembara tersebut. Al hasil, ia memenangkan sayembaranya Retno Kencono. Tak lama kemudian mereka pun menikah, dan singkat cerita Syeh Muhayat Syah menjadi Sultan dengan nama Sultan Hadlirin dan Retno Kencono menjadi Ratu dengan Julukan Ratu Kalinyamat yang masih dikenang hingga sekarang.

Sejarah Ukir Jepara

Lalu bagaimana kaitannya Sultan Hadlirin dengan sejarah terjadinya kerajinan tangan mebel ukir di Jepara ? Sebenarnya bukan Sultan Hadlirin yang membawa atau yang mengawali kerajainan tangan berupa seni ukir, melainkan ayah angkatnya ketika berguru di negeri Cina Daratan.

Setelah Mehayat Syah menjadi Sultan di Jepara, tiba-tiba di Cina Daratan terjadi perang besar dan kedua orang yang ahli dalam strategi perang tersebut teringat akan anak angkatnya, maka dicarilah ia sampai ketemu. Melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Thae Lin Sing dan Chiwi Guan mendengar kabar bahwa anak angkatnya berada di Jepara. Merekapun mencarinya.

Setelah bertemu di Jepara, dikabarkannyalah apa yang sedang terjadi di negerinya sana. Akhirnya, demi keselamatan kedua ayah angkatnya Sultan Hadlirin mempersilahkan mereka untuk tinggal di Jepara.

Karena mereka berdua sama-sama ahli dalam strategi perang, maka Sultan Hadlirin menyarankan kepada Thae Lin Sing untuk menjadi penasehat perang Sunan Kudus (sekarang lebih dikenal dengan julukan Kyai Tlingsing). Sedang Chiwi Guan dipilih untuk menjadi patih di Jepara.

Tanpa dikira, ternyata Chiwi Guan juga ahli memahat di batu putih. Karena itu ia mendapat gelar Patih Sungging Badhar Dhuwung (ahli pahat batu putih). Semenjak itulah akhirnya Badhar Dhuwung sering membuat perabotan rumah tangga dan perkantoran pada jamannya (meja – kursi) bermaotifkan ukiran. Nampaknya keahlian dan kebiasaan Patih Sungging Badhar Dhuwung tersebut hingga sekarang masih melekat di titisan masyarakat Jepara, bahkan kerajinan tangan seni mebel ukir menjadi salah satu nafas kehidupan bagi masyarakat Jepara.

Bentuk peninggalan sejarah Patih Sungging Badhar Dhuwung adalah motif ukiran batu putih yang sekarang masih melekat pada dinding masjid mantingan (Astana Sultan Hadlirin)

KASUS HAK CIPTA -lanjutan-

Kegagalan Negara

Lindungi Hak Cipta atas Folklor

Sebuah Apresiasi Celcius terhadap pernyataan Penyidik Polres Jepara

Pada penyidikan lanjutan Hari Senin, 1 Juni 2006

Ø Berkaitan dengan pernyataan Penyidik bahwa belum ditemukannya unsur pidana dalam pasal 72 tentang pelanggaran dalam pasal 10, Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dapat diartikan bahwa penyidik belum memahami dengan baik dan benar Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dan tidak taat asas khususnya asas Legalitas Formal yang merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Formal. Asas Legalitas Formal adalah semua perbuatan dikatakan tindak pidana jika telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ø Padahal dalam pasal 72 ayat (1) Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta[1], sangat jelas mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pelanggaran Hak Cipta atas folklor sebab dalam pasal 2 ayat (1)[2] jelas menyebutkan bahwa negara adalah pemegang Hak Cipta secara otomatis mewakilki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatr setempat, sebagaimana yang dipertegas dalam pasal 10 ayat (1), (2), dan (3).[3] Sedangkan analogi folklor yang dimaksud pasal 10, sangat tegas dijelaskan dalam pasal 12.[4] Sungguh memprihatinkan dan sangat kita sesalkan jika dianggap tidak ada unsur pidana dalam pasal 72 tersebut.

Ø Perbuatan eksploitasi terhadap Hak Cipta atas folklor sebagai kearifan lokal oleh mahkluk asing, merupakan perampokan kekayaan budaya yang diwarisi secara turun temurun yang oleh masyarakat merupakan perbuatan tercela dan melanggar nilai-nilai moral yang diyakini dan hidup dalam masyarakat, yang merupakan dasar lahirnya asas legalitas materiil. Sikap Penyidik yang tidak taat pada asas Legalitas Formal yang menjamin kepastian hukum, saya meyakini juga tidak taat pada asas Legalitas Materiil, padahal asas ini merupakan asas yang menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Sebab asas ini merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Materiil, yaitu semua tindakan perbuatan dinyatakan tindak pidana apabila dianggap melanggar rasa keadilan masyarakat dan tercela oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( melanggar norma-morma kemasyarakatan)

Ø Dasar dari penerapan asas ini adalah pasal 5 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang pada intinya mengakui adanya hukum materiil sipil sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dipertegas lai dalam pasal 23 ayat (2) Undang Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya menegaskan bahwa Hakim diwajibkan memberikan alas an-alasan berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai sumber untuk mengadili. Demikian pula pada pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Ø Kehadiran mahkluk asing yang memporak porandakan tatanan budaya dan harmonisasi masyarakatn local telah melanggar hak-hak social masyarakat yang paling mendasar. Hak-hak mendasar tersebut merupakan Hak Cipta yang terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.[5]



[1] Lihat Pasal 72 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

[2] Lihat Pasal 2 ayat (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[3] Lihat Pasal 10 ayat (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ayat (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buykan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.

[4] Lihat Pasal 12 ayat (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, senji patung, kolase, dan seni terapan

[5] Lihat Penjelasan atas Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, halaman 63.

KASUS HAK CIPTA MEBEL UKIR

KRONOLOGIS

KRONOLOGIS

DUGAAN EKSPLOITASI FOLKLOR JEPARA

OLEH CHRISTOPHER HARRISON – INGGRIS

1. Pada pertengahan tahun 2005, ada kejadian yang menimpa salah satu pengusaha Jepara, Muhammad Salim, yang dilaporkan ke Polres Jepara dengan tuduhan talah menjiplak Hak Cipta dan Desain milik PT. Harrison & Gil Java Semarang

2. Pada tahun yang sama juga ada pengusaha asing (Belanda) yang disomasi oleh kuasa hukum PT. Harrison untuk menghentikan produksi karena juga dianggap menjiplak Hak Cipta dan Desain milik PT. tersebut.

3. Dari itu, bulan Desember 2005, LSM Celcius melakukan audiensi dengan Komisi B DPRD Jepara terkait dengan kasus tersebut. yang kemudian dilanjutkan audiensi dengan Bupati Jepara pada tanggal 02 Januari 2006.

4. Hasil audiensi menyatakan bahwa kasus tersebut tidak seharusnya terjadi, karena mebel ukir sudah ada sejak turun temurun.

5. Setelah mendapatkan buku katalog milik PT. Harrison & Gil, Celcius melakukan observasi ke beberapa perajin Jepara untuk membuktikan bahwa mayoritas perajin Jepara sudah membuat produk seperti dalam katalog milik PT. Harrison sejak puluhan tahun lalu sebelum katalog tersebut didaftarkan Hak Ciptanya.

6. Pernyataan beberapa perajin tersebut juga disampaikan secara tertulis dalam bentuk surat pernyataan

7. Celcius juga menemukan katalog lain yang beredar secara umum di Jepara sejak tahun 1998. Secara kebetulan katalog lama tersebut juga memuat beberapa gambar yang sama seperti dalam buku katalog milik PT. Harrison.

8. Kemudian Celcius juga melakukan audiensi dengan Direktur Hak Cipta Dep. Hukum dan HAM, Drs Hosan, bahwa buku katalog milik PT. Harrison & Gil benar sudah didaftarkan Hak Ciptanya.

9. Hak Cipta yang dimiliki PT. Harrison adalah Hak Cipta atas buku katalog.

10. Dari sinilah, karena merasa memiliki Hak Cipta (meski hanya Hak Cipta atas buyku katalog), dan ditafsirkan berlebihan sehingga barang siapa yang membuat produk seperti dalam katalognya akan dituntut dengan tuduhan penjimpalakan Hak Cipta.

11. Mulai dari sini, Celcius kemudian sering melakukan audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Jepara hingga belasan kali, tetapi hingga saat ini belum ada pengambilan kebijakan terkait dengan kasus ini.

12. Padahal berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa :

- Gambar-gambar figura cermin yang ada dalam katalog tersebut, sebagian besar sudah diproduk oleh masyarakat Jepara sejak puluhan tahun sebelumnya dan hal ini dilakukan secara turun temurun

- Dalam katalog tertera price lock (kunci harga), sehingga memudahkan buyer untuk mengetahui harga produk yang ada. (-ini bukti monopoli)

- Pengusaha Jepara yang dilaporkan ke polisi tersebut, sejak pertengahan tahun 2005 hingga sekarang pengusaha tersebut belum bisa bekerja dan barang-barang tertumpuk di gudang seperti sampah. Hal ini karena ketakutan

13. Hasil tidak tertulis, Kunjungan ke Kantor Dirjen Haki,:

- Bahwa yang dimiliki oleh Harrison hanyalah Hak Cipta atas buku katalog yang substansi perlindungannya hanya terbatas pada buku katalognya saja dan tidak secara otomatis melindungi isi di dalamnya ( yang merupakan obyek perlindungan desain industri)

- Untuk Hak Cipta, Dirjen HKI tidak pernah mengeluarkan Sertifikat kecuali SURAT PENDAFTARAN CIPTAANBahwa Jepara memang dilindungi dan tidak ada yang bisa menuntut Jepara ketika masyarakatnya membuat barang-barang seperti gambar yang ada dalam katalog tersebut.

- Untuik mendapatkan jawaban tertulis dari pihak Dirjen HKI, harus dikirim pertanyaan tertulis pula.

14. Dari itu, pada bulan Februari 2006, Celcius mengirim surat ke Dirjen Haki menanyakan tentang keabsahan Hak Cipta yang dimiliki PT. Harrison & Gil tetapi tidak mendapat jawaban.

15. Tanggal 25 April 2006, kasus dugaan eksploitasi, komersialisasi dan monopoli folklor Jepara ini dilaporkan ke Polres Jepara oleh LSM Celcius.

16. Tanggal 11 Mei 2006, Celcius mengadakan acara dialog terkait dengan kasus ini di Ruang Serba Guna DPRD Jepara dengan mengahdirkan 100 masyarakat Jepara baik perajin, pengusaha, LSM dal lain-lain dan para pakar, yakni Prof. Drs. SP. Gustami (ISI Yogyakarta), Prof. Dr, Edi Sedyawati (HIPEBTra - Jakarta), Ansori Sinungan, SH. LL.M, Ronggolawe, SH. MH. LL.M (UI Jakarta), Linieke MS Joseph, SH (Praktisi hukum)

17. Tanggal 16 Mei 2006, Celcius mengirim surat lagi tentang Permohonan Pembatalan Hak Cipta yang tembusannya ditujukan ke beberapa Departemen terkait termasuk Departemen Perindustrian. Tetapi tidak ada balasan juga dari Dirjen HAKI, tetapi justeru dari Departemen Perindustrian yang menanggapi surat tersebut

18. Surat dari Departemen Perindustrian

- Tanggal 26 Juni 2006, LSM Celcius menerima surat dari Departemen Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tentang pernyataan dukungan terhadap perlindungan karya-karya budaya lokal Jepara.

- Tanggal 08 Juli 2006, LSM Celcius kembali menerima surat susulan dari Departemen Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tentang Informasi Hak Cipta PT. Harrison & Gil Java.

Dalam surat tersebut disampaikan bahwa setelah menerima surat tembusan dari Celcius, Dirjen IAK telah menyampaikan surat ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM RI Nomor : 630/IAK/VI/2006 dan mendapat jawaban bahwa benar buku katalog milik PT. Harrison & Gil telah terdaftar dalam Daftra Ciptaan Dirjen HKI di bawah Nomor 028070 tanggal 14 Juni 2004, dan yang dilindungi dalam pendaftaran ini adalah “buku katalog” dan bukan isinya (sebagai obyek perlindungan desain industri)

19. Sejak Februari 2007 lalu, Cristhoper sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Jepara. Tetapi hingga sekarang belum ada kejelasan tentang tindak lanjutnya.

20. Tanggal 26 April 2007, Celcius bersama 100 orang melakukan aksi peduli Hak Cipta dalam rangka Hari HKI se dunia

21. Dalam acara audiensi dengan Gubernur Jawa Tengah yang diterima Wagub; disarankan agar Pemkab Jepara segera membuat Perda tentang perlindungan industri.

ANALISIS SINGKAT

1. Siapapun boleh membuat katalog mebel ukir

2. Cristhoper Harrison dan PT. Harrison & Gil Java telah melakukan kebohongan publik yakni :

- Hak Cipta yang ia miliki hanyalah atas buku katalog tetapi dalam praktiknya dia mengakui memiliki Hak Cipta dan Desain Produk gambar yang ada serta melarang pihak lain memproduk gambar-gambar yang ada dengan tuduhan menjiplak Hak Cipta dan Desain Produk miliknya

- NomorAgenda Pendaftaran : C00200400863 tertanggal 14 Juni 2004, diakui sebagai nomor sertifikat Hak Cipta. (tertera jelas dalam surat somasi) PADAHAL Dirjen HKI tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk Hak Cipta Kecuali SURAT DAFTAR CIPTAAN

3. Kebohongan publik tersebut digunakan untuk kepentingan memperkaya diri dengan cara menggugat siapa saja yang memproduksi barang-barang seperti dalam katalognya – termasuk pengusaha Jepara –

4. Katalog yang didaftarkan hak ciptanya oleh Harrison ternyata banyak memuat unsur folklor Jepara. Karena gambar dalam katalog tersebut kebanyakan sudah dibuat dan membudaya di masyarakat Jepara sejak puluhan tahun lalu sebelum didaftarkan Hak Ciptanya oleh PT. Harrison & Gil.

5. Harrisson telah melakukan eksploitasi, komersialisasi, dan memonopoli kebudayaan Jepara berupa seni kerajinan tangan mebel ukir untuk kepentingan pribadi, sehinga buyer-buyer lain tidak akan membeli produk ke Jepara melainkan ke PT. Harrison.

6. Benarkah Nomor : 028070 adalah nomor SURAT PENDAFTARAN CIPTAAN ? karena dalam kopian SURAT PENDAFTARAN CIPTAAN yang diperoleh LSM Celcius, terdapat pula Nomor : B251653.

Mana yang disebut Nomor SURAT PENDAFTARAN CIPTAAN dan mana yang Nomor AGENDA PENDAFTARAN ?

PENGAMBILAN SIKAP

Menanggapi permasalahan tersebut, nampaknya Pemerintah Kabupaten Jepara masih setengah hati dalam pengambilan sikap. Terbukti. dari beberapa kali melakukan audiensi baik dengan Bupati maupun dengan DPRD, hingga sekarang belum ada kejelasan bagaimana sikap Pemkab dalam menghadapai permasalahan ini. Bahkan ketika Celcius diundang untuk memaparkan permasalahan ini dihadapan Ass II, tiba-tiba dibatalkan tanpa ada alasan yang jelas. Terhadap permasalahan ini, kami memohon adanya kejelasan dukungan dari Pemerintah atas nama Negara sebagai pemegang Hak Cipta atas folklor. Lalu mekanisme apa yang akan dilakukan dalam upaya perlindungan budaya ini?

Jika memang Pemkab tidak mendukung perlindungan budaya ini, kami juga memohon agar diterbitkan surat pernyataan bahwa Pemkab tidak mendukung upaya perlindungan budaya ini.

Kenapa demikian…………………………………………………………???

Karena :

1. Hal ini akan berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jepara yang mayoritas bergelut di bidang mebel ukir

2. Mebel Ukir adalah merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara

3. Jika orang asing dibiarkan melakukan eksploitasi kebudayaan, maka tak ubahnya kita menjual seluruh yang ada dalam wilayah ini, termasuk keberadabannya. Karena seni budaya adalah lambang keberadaban.