Senin, 12 Maret 2012

BALADA BADRAWI

(Refleksi Merdeka)

Badrawai adalah seorang supir angkot yang tidak pernah mengenyam bangku sekolahan, kecuali hanya sampai pada kelas 4 sekolah dasar di kampungnya. Meskipun demikian, ia memiliki jiwa patriotik yang sangat tinggi. Ia sok nasionalis bahkan kadang-kadang terkesan sok heroik. Badrawi juga sangat senang ketika anak semata wayangnya yang baru duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar mendapat giliran atau tugas dari sekolah. Apalagi yang berkaitan untuk sedikit menaikkan rating.
Ia mengaku rela mengorbankan apapun demi kemajuan pendidikan anaknya. Bahkan ia juga rela bolos kerja hanya lantaran mengantar anaknya mengikuti upacara kemerdekaan. Akan tetapi dasar nggak tahu jadual dan aturan berupacara, iapun main nyelonong ketika anaknya memasuki barisan. Alasannya, ia terlalu gembira ketika anaknya terlihat gagah berdiri di tengah-tengah barisan dengan seragam merah putihnya – meski sudah agak kumal -.
Tentu saja Badrawi dijemput petugas untuk dibawa keluar dari lapangan. Iapun hanya bengong seakan tak pernah berdosa. Ia selalu memandangi anaknya dengan sesekali melambaikan tangan memberi semangat. “Ah, kamu memang gagah nak. Ingat, jangan seperti bapak ya” ia menggumam sendiri.
Dengan sikap sedikit tolol, Badrawi duduk dipinggiran lapangan menyalakan sebatang rokok yang tadinya mati akibat keriangannya. Tak lama kemudian detik-detik proklamasipun tiba. Saat ia sedang asik menikmati rokoknya, tiba-tiba seorang petugas mendekatinya. Ia juga tidak paham seragam apa yang dikenakan petugas tersebut. Yang pasti lebih gagah ketimbang anaknya.
Petugas itu meminta Badrawi untuk berdiri lalu secara bersama-sama disuruh menghormat kepada bendera Merah Putih. Ia tidak segera menghormat, ia justeru semakin kebingungan. Setelah sedikit dibentak oleh petugas, baru ia sadar dan spontan memberikan hormatnya.
“Waduh, waduh hormat saja masih dipaksa. Trus mau jadi apa negeri ini. Ck…ck…ck… Kalau tahu begini, anakku tak usah sajalah ikut upacara. Cukup berdiri di sini dan memberi hormat pada bendera itu” gumamnya sambil masih memberi hormat.
Meski tidak begitu tegak berdirinya, ia mencoba untuk segagah mungkin biar dilihat dan ditiru sang anak kebanggannya.
“Pak, kalau memberi hormat saja sudah cukup, boleh aku menjemput anakku untuk pulang? Soalnya, dia tadi belum sarapan” katanya pada petugas yang menegurnya.
Lalu tanpa mendengar jawaban dari petugas, Badrawi kembali nyelonong ke barisan mengambil anaknya. Dengan ekspresi kecut, ia mengambil anaknya dari barisan upacara.
“Ayo nak. Nanti belajar menghormatnya di rumah saja” tegasnya.
Para petugas hanya bengong terheran-heran melihat sikap Badrawi yang pemberani dan nekat. Dalam hatinya, mereka mengakui kebenaran yang ada dalam benak Badrawai. Hanya saja, tidak sempat terlontar lantaran sistem selalu menghardik di sekelilingnya.

--------------------- didid endro s.