Sabtu, 15 November 2008

FGD Bersama Sekretariat Wakil Presiden

“Perlindungan Aset Budaya
Terhadap Eksploitasi Asing”

Kasus-kasus yang terjadi seputar eksploitasi asing terhadap benda budaya atau dapat dikatakan sebagai aset budaya bangsa Indonesia sudah sampai pada satu titik yang mengkhawatirkan. Merujuk pada kasus pertikaian antara dua warganegara asing yang sejatinya adalah murni persaingan bisnis, telah menjadi sorotan sejumlah kalangan karena objek yang dipersengketakan sangat sensitif, yaitu komoditas ukir-ukiran khas Jepara.
Hal yang sama, menimpa pula pada pengrajin perak Bali yang terhambat karena tuduhan pelanggaran design produk industri yang telah didaftarkan oleh John Hardy Group atas design motif asli Bali sendiri! Sebenarnya kasus-kasus ini bukan hal yang baru, menengok pada dekade sebelumnya ketika terjadi komersialisasi atas rekaman musik tradisional Indonesia oleh Smithsonian.
Bercermin dari semua pengalaman pahit tersebut, ternyata folklor, seperti pula halnya traditional knowledge, asal Indonesia dengan nilai komersialisasi yang dilirik oleh pihak asing, ternyata sudah sedemikian rupa menjadi suatu ancaman, apabila tidak disikapi dengan tanggap. Ihwal tersebut telah memposisikan folklor itu sendiri sebagai aset bangsa yang patut mendapat perhatian. Inilah yang menjadi bahasan utama dalam Focus Discussion Group yang diadakan oleh Sekretariat Wakil Presiden bekerja sama dengan IIPS (Indonesian Intellectual Property Society) dan ISI (Institut Seni Indonesia), di Hotel Jayakarta Yogyakarta tanggal 13 November 2008.
Sebenarnya secara normatif, telah ada upaya dari pemerintah Indonesia sendiri untuk melindungi aset budaya tersebut. Menilik pada ketentuan UUHC, adanya pasal 10 UUHC sebenarnya telah memberikan tempat bagi perlindungan warisan purba yang diyakini sebagai milik bangsa dan berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak luar. Orang selain warganegara Indonesia berkewajiban untuk meminta izin atas pemanfaatannya, sebagaimana halnya objek yang mendapat perlindungan dalam rezim Hak Cipta. Perlindungan terhadap folklor secara konsep, sebenarnya tidaklah pararel dengan perlindungan Hak Cipta yang individualistik dan monopolistik.
Dikotomi ini tidak menghalangi Indonesia untuk tetap pada sikapnya menjaga aset berharganya dengan “pasal titipan” tersebut. Tantangan asing terhadap eksistensi pasal ini patut dicermati, apalagi ternyata fenomena eksploitasi asing kini semakin nyata.
Diskusi yang dihadiri oleh kalangan LSM, akademisi dan instansi pemerintahan ini, bertujuan untuk membangun suatu ide yang konstruktif dengan hasil yang konkret. Perlu adanya restorasi terhadap sikap dan pemahaman masyarakat Jepara sendiri bahwa keunikan daerahnya patut untuk diperjuangkan. LSM-Celcius yang selama ini sangat berempati terhadap nasib para pengerajin setempat perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Komitmen yang diharapkan adalah terbentuknya sinergi antara instansi pemerintah, LSM dan akademisi dalam memulihkan kembali rasa percaya diri dari pengerajin Jepara untuk tidak ragu lagi meneruskan aktivitas berkreasi yang menjadi kekhasan dan haknya sejak dahulu.
Dalam kesempatan ini, Ketua LSM Celcius, Didid Endro S, melalui makalahnya lebih merujuk antara Perlindungan Budaya VS Kebijakan Pemerintah dan Penegak Hukum. Dalam penjelasannya, Didid menyampaikan, upaya-upaya perlindungan budaya yang dilakukan akan menjadi tidah jelas atau bahkan mubadzir ketika tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah dan ketegasan para penegak hukum yang terlibat dalam penyelesaiannya.
Hal ini terbukti ketika terjadi eksploitasi, komersialisasi dan monopoli karya budaya masyarakat Jepara berupa mebel ukir oleh orang asing, Cristhoper Guy Harrison dengan mengakui Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Sehingga ketka orang Jepara membuat produk-produk tersebut menjadi tergugat dengan tuduhan menjiplak Ha Cipta dan Desain Produk milik Harrison.
Terjadinya kasus ini, tentu diperlukan keterlibatan pemerintah sebagai pemegang Hak Cipta atas folklor seperti dalam pasal 10 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kemudian, karena kasus ini sudah masuk dalam ranah hukum, tentu para penegak hukum juga harus benar-benar memahami substansinya sehingga benar-benar bersikap tegas dalam keputusannya.
"Saya menjadi kahawatir ketika eksploitasi seperti ini dibiarkan begitu saja, lama-lama bahasa kita juga akan diklaim oleh orang asing, trus kita menjadi gagu tidak bisa ngomong apa-apa karena takut dituntut dengan tuduhan menjiplak Hak Cipta orang asing juga" ungkap Didid mengakhiri makalahnya di hadapan 40 audience dari berbagai unsur.
Menurutnya, terpidananya warga Belanda, Peter Nicolas Zaal, yang sebelumnya juga bersitegang dengan Harrison persoalan Hak Cipta dan Desain Produk folklor Jepara tersebut, merupakan salah satu contoh korban klaim Hak Cipta dan Desain Produk yang dilakukan oleh Harrison. Sudah barang tentu, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada masyarakat Jepara yang membuat produk seperti dalam katalognya Harrison, yang meskipun itu adalah karya-karya budaya masyarakat Jepara sendiri.
Selanjutnya, sebagai salah satu langkah pengembalian Hak Cipta atas folklor Jepara, Celcius diharapkan mengirimkan surat ke pemerintah Inggris tentang keberatan masyarakat Jepara terhadap eksploitasi yang dilakukan Harrison. Tentu setelah terbentuk resortasi di Jepara seperti yang diprogramkan Sekretariat Wakil Presiden dua bulan mendatang. ***

Rabu, 12 November 2008

Contoh Gambar Yang Diklaim

Salah satu produk yang diklaim
orang asing







Perajin Jepara menunjukkan gambar yang pernah diprodunya kepada penyidik Polres Jepara

PERLINDUNGAN BUDAYA

Perlindungan Budaya
VS
Kebijakan Pemerintah dan Penegak Hukum
Oleh : Didid Endro S.

Seni budaya adalah bahasa universal yang mampu dijadikan penyelaras segala bentuk persoalan secara fleksibel dan bijaksana. Bahkan di sepanjang sejarah manusia, seni budaya selalu menjadi benang merah acuan. Artinya, bahwa secara tidak sadar tata kehidupan manusia diwarnai dengan nilai-nilai seni budaya yang ada.
Selain itu, tata kehidupan manusia mulai jelas kelihatan carut marut ketika terjadi pertemuan dua kutub yang berbeda. Yakni benturan antara kutub yang sudah jauh menembus tata kehidupan modernis dengan kutub yang masih saja terlelap dalam keterbelakangan di segala aspek. Akibat benturan-benturan ini melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang ambigu (pontang-panting) karena kebat kliwat mengejar gaya medern.
Hal ini menjadi sangat berbahaya baik secara pribadi maupun profesi. Karena ketika manusia pada kondisi ambigu, akan melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari konteks kemanusiaan. Seperti misal munculnya sifat homo homonilupus (kecenderungan menganggap orang lain sebagai saingan atau musuh yang harus dikalahkan atau dibunuh sekalipun dengan cara apapun).
Secara prinsip, budaya leluhur yang dalam kurun waktu tertentu menjadi dasar tata kehidupan manusia, sebenarnya lebih mengutamakan pada tatanan hidup yang selaras, serasi, dan seimbang baik sesama manusia, alam, dan Tuhan, juga homo homonisosius yakni anggapan bahwa orang lain adalah teman dan saudara.
Dari berbagai benturan ini, selain melahirkan ambigu, kelompok-kelompok masyarakat lara ati karena tidak mampu melakukan penyesuaian diri (empaty) terhadap pola-pola medernis, juga akan melahirkan pula penyakit-penyakit kronis yang dalam istilah metropolisnya disebut kram otak. Ironisnya, orang-orang yang sedang terjangkit penyakit kram otak ini justeru menjadi penentu kebijakan dalam segala aspek, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun kenegaraan (pemerintahan).
Sehingga tidak mengherankan jika dalam perjalannya melahirkan jenis-jenis atau model produk yang bersifat ambiguisme. Misalnya saja kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan kemanusiaan (masyarakat) yang secara otomatis menimbulkan keretakan dan kerusakan harmonisasi dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan pelaksanaan tata pemerintahan baik di daerah maupun di tingkat pusat.
Dalam sejarah, pemetakan budaya setidaknya terbagai menjadi tiga bagian yakni mitos sebagai sentral budaya kemudian kultus dan menginjak pada era fungsional budaya seperti saat sekarang. Pada era fungsional budaya atau budaya yang difungsikan, siapapun yang memiliki kekuasaan dan kekayaan mampu menciptakan budaya-budaya baru untuk kepentingannya. Seperti halnya bangga melakukan kesalahan, bangga melakukan korupsi dan lain sebagainya tetapi yang paling tragis adalah bangga berbuat dosa dan bangga atas kebodohannya. Lalu akan dikemanakan bangsa dan negeri tercinta ini?
Dari sinilah keberpijakan perlunya diadakan revolusi budaya (moral force) untuk menuju negeri yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem kerta raharja. Di mana ada atau terpenuhinya sinergitas moral bangsa serta pencitraan kondusifitas negeri. Kemudian revolusi budaya ini juga merupakan gerakan nurai secara nasional dan wajib hukumnya kalau tidak ingin negeri ini tergadaikan.
Tentu bukan hal yang ngoyo woro jika revolusi budaya ini dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang berbudaya pula. Sehingga hal ini menjadi hajatan nasional untuk kepentingan yang lebih besar dan tidak serta merta melupakan hal-hal lain sekecil apapun. Yakni terwujudnya partisipasi masyarakat dan anggotanya dalam menentukan kebijakan tersebut.
Selanjutnya, penciptaan budaya secara implisit menjadi tanggung jawab para kreator budaya (budayawan dan seniman) untuk lebih aktif berpartisipasi melalui berbagai karya-karya nyata yang jelas dan berani bukan sekedar karya-karya impian (kejar popularitas). Karena penciptaan budaya-budaya baru yang dilakukan oleh penguasa dan kaum kapitalis hanya terbatas pada kepentingan politis dan profit oriented dan tidak mencerminkan sikap apresiatif terhadap nilai-nilai budayanya.
Jika kreator budaya pada akhirnya tidak mampu pula melakukan revolusi budaya, maka kita akan terkurung pada era terdahulu yang kolot dan terjadi pemasungan-pemasungan kreatifitas. Sepertinya berlari ngos-ngosan, tetapi sebenarnya tidak beranjak kemana-mana. Boleh mata tertutup, tetati hati tetap terbuka.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah di sini trekandung maksud bukan mengarah pada penciptaan budaya baru atas “keperkasaannya”, melainkan adanya upaya perlindungan dan pelestarian aset-aset budaya yang ada sebagai pencitraan atau jati diri pada masing-masing daerah tertentu. Pelestarian budaya tradisional bukan berarti harus statis, melainkan diperlukan pula inovasi-inovasi tertentu guna penyesuaian pada perkembangan jaman serta untuk menambah daya tarik penikmatnya.ketika dipertunjukkan atau dipamerkan.
Selain itu, pemerintah juga semestinya tidak bersikap apatis, masa bodoh, acuh tak acuh atau apapun namanya yang identik dengan ketidakpedulian terhadap adanya eksploitasi nilai-nilai budaya yang ada oleh pihak asing. Tetapi pemerintah harus mampu menampilkan “keperkasaannya”.
Seperti yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, khusunya di Kabupaten Jepara, peran pemerintah dalam menentukan sikap terhadap terjadinya monopoli, komersialisasi, dan ekploitasi folklor berupa mebel dan ukir tidak begitu signifikan. Bahkan terkesan tidak peduli, masa bodoh dan tidak merasa kecolongan.
Sikap seperti inilah seharusnya tidak terjadi pada tubuh pemerintahan yang berbudaya. Apalagi sudah sangat jelas bahwa mebel dan ukir merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara. Secara ekonomis, hal ini akan berdampak besar terhadap perkembangan industri mebel ukir di Jepara. Kemudian secara social, akan timbul gejolak-gejolak yang mengarah pada penciptaan iklim tidak kondusif karena banyaknya pengangguran.
Ironisnya, realitas seperti tersebut, kelangkaan bahan baku menjadi kambing hitam. Tentu ukir Jepara menjadi mati suri, artinya para pengukir sudah tinggal kaum marginal/buruh kasar mirip buruh tani yang terpental dari produksi pertanian karena juragan meubel lebih mendominasi mengepul produk mereka, mengatur design ukiran mereka, sementara mereka hanya dibayar murah layaknya tukang jahit.
Hal yang sama juga terjadi di Institusi Pemerintah Pusat khususnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang begitu mudah menerima permohonan Daftar Ciptaan buku catalog yang memuat gambar-gambar mebel ukir Jepara tanpa melihat latar belakang kepentingan pemohon. Sehingga setelah terbit Surat Daftar Ciptaan berupa buku catalog tersebut, pemilik Hak Cipta menafsirkan berlebihan mengaku memiliki Hak Cipta sekaligis Desain Produk semua jenis gambar yang ada di dalamnya.
Klaim tersebut lalu digunakan untuk menggugat warga Jepara yang membuat produk sama seperti dalam katalognya dengan tuduhan menjiplak atau mencuri Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Kejadian ini berlangsung sangat lama hingga menyisakan trauma pada masyarakat Jepara.
Lebih konyol lagi ketika kasus tersebut diproses hukum dan pelaku dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Jepara, muncul lagi keanehan atau keunikan yang bersumber dari Direktorat Jendaeral HKI. Keunikan tersebut berupa pernyataan dari salah satu staf dirjen HKI di hadapan penyidik Polda Jawa Tengah bahwa berkas permohonan Hak Cipta oleh Cristhoper Harrison telah hilang.
Meskipun penyidikan di Polda Jawa Tengah terpisah dengan persoalan di Polres Jepara, akan tetapi sangat berpengaruh pada proses hukum selanjutnya karena tidak dapat diketahui berkas-berkasnya. Lalu siapa yang harus bertangungjawab atas semua ini? Pun tak ada yang berani menjawabnya. Sehingga masyarakat Jepara tetaplah menjadi korban atas klaim Hak Cipta atas folklornya sendiri serta korban atas “pelacuran moral” oknum yangt tidak bertanggungjawab. Apapun alasannya, hal ini harus dituntaskan meski oleh siapapun orangnya.
Penegak Hukum
Dalam persoalan Hak Cipta dan penuntasan kasusnya, tentu harus dilengkapi para penegak hukum yang memahami tentang substansi Hak Cipta bukan sekedar sentilan jemari kecil belaka. Hak ini terlihat jelas ketika pada proses hukum mulai berjalan, masih banyak penegak hukum yang salah menafsirkan. Hak Cipta selalu disebut sebagai Paten. Padahal secara substansial jelas sangat berbeda dan Undang-undangnyapun juga berbeda.
Selain itu, ditambah lagi dengan penyidik yang menyatakan bahwa belum ditemukan unsur pidana dalam undang-undang tersebut. Tentu ini sangat melukai hati siapapun yang mendengarnya.
Hal ini dapat diartikan bahwa penyidik belum memahami dengan baik dan benar Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dan tidak taat asas khususnya asas Legalitas Formal yang merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Formal.
Asas Legalitas Formal adalah semua perbuatan dikatakan tindak pidana jika telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Padahal dalam pasal 72 ayat (1) Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[1], sangat jelas mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pelanggaran Hak Cipta atas folklor sebab dalam pasal 2 ayat (1)[2] jelas menyebutkan bahwa negara adalah pemegang Hak Cipta, secara otomatis mewakilki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatr setempat, sebagaimana yang dipertegas dalam pasal 10 ayat (1), (2), dan (3).[3]
Sedangkan analogi folklor yang dimaksud pasal 10, sangat tegas dijelaskan dalam pasal 12.
[4] Sungguh memprihatinkan dan sangat kita sesalkan jika dianggap tidak ada unsur pidana dalam pasal 72 tersebut.
Perbuatan eksploitasi terhadap Hak Cipta atas folklor sebagai kearifan lokal oleh mahkluk asing, merupakan perampokan kekayaan budaya yang diwarisi secara turun temurun yang oleh masyarakat merupakan perbuatan tercela dan melanggar nilai-nilai moral yang diyakini dan hidup dalam masyarakat, yang merupakan dasar lahirnya asas legalitas materiil.
Sikap Penyidik yang tidak taat pada asas Legalitas Formal yang menjamin kepastian hukum, dapat diyakini pula tidak taat pada asas Legalitas Materiil, sebagai asas yang menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Asas ini kuga merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Materiil, yakni semua tindakan perbuatan dinyatakan tindak pidana apabila dianggap melanggar rasa keadilan masyarakat dan tercela oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( melanggar norma-morma kemasyarakatan)
Dasar dari penerapan asas ini adalah pasal 5 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang pada intinya mengakui adanya hukum materiil sipil sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dipertegas lagi dalam pasal 23 ayat (2) Undang Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya menegaskan bahwa Hakim diwajibkan memberikan alasan-alasan berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai sumber untuk mengadili.
Demikian pula pada pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kehadiran mahkluk asing yang memporak porandakan tatanan budaya dan harmonisasi masyarakatn lokal telah melanggar hak-hak socsial masyarakat yang paling mendasar. Hak-hak mendasar tersebut merupakan Hak Cipta yang terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right).
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
[5]
------------------------------------------------------------------
[1] Lihat Pasal 72 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
[2] Lihat Pasal 2 ayat (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3] Lihat Pasal 10 ayat (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ayat (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buykan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.
[4] Lihat Pasal 12 ayat (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, senji patung, kolase, dan seni terapan
[5] Lihat Penjelasan atas Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, halaman 63.

Rabu, 22 Oktober 2008

MUSTAHIL BUANGET......

Terkait dengan munculnya kasus Hak Cipta Mbel Ukir Jepara yang diklaim orang asing, Cristhoper Guy Harrison, muncul pula persoalan baru yang tidak kalah pentingnya bagi keberlangsungan perlindungan Karya Intelektual seluruh masyarakat Indonesia, yakni berkas-berkas pengajuan pendaftaran Hak Cipta oleh orang asing tersebut dinyatakan hilag oleh pihak Dirjen HKI di hadapan penyidik Polda Jawa Tengah ketika dimintai keterangan.
Hal ini merupakan pukulan telak bagi bangsa Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada seluruh pejabat yang ada dalam institusi tersebut.
Ironisnya, setelah kejadian tersebut hingga saat ini belum ada tindakan tegas dari pihak-pihak yang berkompeten untuk sekedar mencari kejelasan tentang pernyatan tersebut.
Bukankah ini hal yang sangat "Komeditarian???" atau super lucu???
Sementara masyarakat Jepara tetap menjadi korban dari ulah yang mengenaskan.
Mari berfikir bersama, siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini..................

Sabtu, 27 September 2008

Foto Aksi Hari HKI Se-Dunia 2007




Aksi Hari HKI se- Dunia ini dilakukan tanggal 26 April 2007 oleh LSM Celcius Jepara dengan spanduk sepanjang 60 m dan diikuti oleh seratus lebih pendukung celcius dalam upayanya menuntaskan kasus Hak Cipta mebel ukir yang diklaim orang asing sejak 2005 lalu.
Aksi ini digelar mulai dari kecamatan mlonggo berjalan dengan kendaraan bermotor menuju pusat kota Jepara. Kemudian spanduk dibentangkan mengitari alun-alun kota Jepara sedang peserta lain menyebarkan pamflet tentang apa itu folklor dan terjadinya pencurian Hak Cipta folklor Jepara berupa mebel ukir.
Selanjutnya peserta aksi berjalan menuju kantor DPRD dengan spanduk terbentang di sepanjang jalan. Orasi pun dilakukan di halaman kantor DPDR Jepara yang pada intinya meminta DPR untuk bisa sedikit berfikir bagaimana solusinya untuk menyelesaikan kasus tersebut. Karena apapun alasannya, mebel ukir merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara. Selain itu, Jepara bisa seperti sekarang ini salah satunya adalah dampk dari hasil industri mebel ukir yang sudah membudaya sejak berpuluh tahun silam sebelum kita dilahirkan.
Sementara itu, untuk melanjutkan proses hukumnya, celcius juga meminta kepada Polres Jepaar untuk segera menindaklanjuti DPO yang sudah diterbitkan

Surat DPO Pelaku Kasus HKI - Polres Jepara


Daftar Pencarian Orang (DPO) Pelaku eksploitasi dan komersialisasi Hak Cipta folklor Jepara berupa mebel ukir ini diterbitkan pada 21 Februari 2007. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Pelaku benar terbukti bersalah.

Kasus HKI Belum Tuntas


Jepara-CL,
SUDAH genap satu tahun, kasus Hak Cipta mebel ukir Jepara yang ditangani Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Celcius hingga saat ini belum tuntas juga. Kasus tersebut sebenarnya perlu pemahaman yang seksama dari berbagai pihak termasuk Pemerintah, penegak hukum dan seluruh masyarakat.
Dari berbagai pemaparan yang dilakukan Celcius, secara prinsip sudah jelas bahwa mebel ukir merupakan hasil kerajinan rakyat Jepara yang dilakukan secara turun temurun sejak berberapa puluh tahun silam. Tetapi karena sebuah keteledoran, bermacam produk figura cermin (mirror frame), asesoris dan mebel bermotifkan ukiran, Hak Cipta dan Desainnya berhasil diklaim oleh warga Inggris, Cristopher Harrison sejak 14 Juni 2004 dengan Surat Daftar Ciptaan berupa sebuah buku katalog yang memuat ratusan gambar produk fiura, asesoris dan mebel bermotifkan ukiran.
Menurut keterangan pihak Dirjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Departemen Hukum dan HAM RI, semua jenis produk yang sudah menjadi milik umum tidak bisa diakui oleh siapapun baik Hak Cipta maupuna Desainnya.
“Apalagi, katalog yang diciptakan oleh Cristopher Harrison di dalamnya memuat unsur folklor milik rakyat Jepara. Ini merupakan tindakan yang terlalu berani”, tegas Direktur Hak Cipta Dirjen HAKI, Ansori Sinungan.
Selain itu, dalam Ayat (2) Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ditegaskan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Folklor dimaksud adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh klompok maupun perorangan dalam masyarakat yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Dalam rangka untuk melindunginya, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersialisasi tanpa seijin negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayan tersebut.
Dari hal tersebut sudah jelas bahwa yang dilakukan pemilik PT. Harrison & Gil-Java, Cristopher Harrison adalah merupakan tindakan eksploitasi, komersialisasi, dan memonopoli folklor Jepara. Karena selain dalam katalog tercantum price lock (kunci harga) pada masing-masing gambar produk dalam semua jenis ukuran, pihaknya juga telah melaporkan warga Jepara ke pihak Polisi dengan tuduhan telah menjiplak Hak Cipta dan Desain Produk miliknya.
Diakui atau tidak, dari tindakan tersebut tentu sangat merugikan masyarakat Jepara yang sebagian besar hidup dari industri mebel ukir. Apalalgi sejak dilaporkannya ke Polres Jepara, mulai pertengahan tahun 2005 hingga sekarang, pengusaha tersebut tidak berani melakukan ekspor atas produk-produknya.

Janji Polres Belum Dipenuhi

Sejak Desember 2005, kasus dugaan eksploitasi folklor tersebut sudah dikawal oleh Celcius bahkan pada 25 April 2006 sudah dilaporkan ke Polres Jepara. Tapi tampaknya hingga sekarang juga belum ada kejelasan tentang tindak lanjutnya. Seperti janji yang disampaikan Wakapolres, Kompol Indra, SIK didampingi Penyidik Aiptu Simon Kartono, SH.MH kepada Celcius, pihaknya akan srius menindaklanjuti laporan tersebut. Bahkan akan memasukkan Cristoipher Harrison dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) jika tidak memenuhi panggilan dari pihak Polres untuk diperiksa.
Sebagai Institusi Penegak Hukum di kota Jepara, Polres seharusnya segera menindaklanjuti kasus tersebut secara profesional dan mestinya secara moral pun turut merasakan dampaknya. Salah satu alasan yang disampaikan pihak Polres atas kelambatan penanganan kasus ini adalah, pihak Cristopher Harrison saat ini masih berada di Singapura sehingga pihak Polres kesulitan untuk mendatangkannya.
Menurut salah satu saksi ahli LSM Celcius, Guru Besar dan Dosen Seni Rupa Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia (ISI ) Yogyakarta, Prof. Drs. SP.Gustami, SU, sebenarnya substansi kasus tersebut sudah sangat jelas, sehingga pihak Polres tidak harus menunda-nunda lagi dalam mengambil tindakan demi kelangsungan hidup masyarakat Jepara.
“Saya kan sudah menjelaskan kepada mereka bahwa gambar-gambar yang diklaim Cristopher itu adalah memuat unsur folklor Jepara. Kenapa tidak ditindaklanjuti”, ungkap penulis buku Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara ini.
Selain itu, lanjut Gustami, beberapa perajin juga sudah diperiksa oleh Penyidik dan mereka juga memberikan keterangan bahawa mereka sudah berpuluh tahun membuat produk seperti yang ada dalam katalog milik Harrison. Artinya, produk-produk yang Hak Cipta dan Desainnya diklaim oleh orang Inggris tersebut benar-benar folklor masyarakat Jepara.
“Saya tingal menunggu saja kabar baik dari Jepara tentang upaya perlindungan budaya ini. Tapi kalau tidak ada keseriusan, Celcius punya hak untuk melanjutkan ke Institusi yang lebih tinggi”, tegasnya.

Sabtu, 20 September 2008

PERLINDUNGAN HUKUM

Perlindungan Hukum atas Kekayaan Intelektual

Oleh Fajar Aprianto *

IDE yang lahir dari intelektualitas seseorang pada dasarnya merupakan kekayaan intelektual. Sangat penting dilindungi oleh hukum agar tidak "di-rampas" orang lain. Upaya pemberian perlindungan hukum terhadap pemilik/ penemu ide baru dikenal dengan istilah hak paten.

Dengan memiliki hak paten, penemu/ peneliti memiliki hak monopoli selama waktu tertentu atas penemuannya. Orang lain tidak diperkenankan mengopi tanpa ada kompensasi untuk penemunya. Selain itu, hak paten diupayakan me-lindungi investasi yang telah digunakan dalam penelitian dan pengembangan suatu produk. proses dan pengembang­an teknologinya. Suatu penemuan baru yang telah diberikan hak patennya harus diungkapkan kepada masyarakat, se-hinggaorang lain bisamempelajarinya.

Dengan demikian, hak paten bisa memperkay a pengetahuan masyarakat. Masyarakat pun bisa menggunakannya secara bebas, apabila paten tersebut sudah tidak berlaku.

Pengakuan atas penemuan itu pada saat yang sama akan mendukung per- j tumbuhan karya intelektual. Menurut i hasil survei terhadap 710 penemu (in-1 ventor) di AS mengenai motivasi pene-j mu itu sehingga menghasilkan karya-, karya inovatif, terdapat delapan moti-1 vasi. Yakni, kesenangan melakukan kegiatan penemuan (love a/inventing), hasrat untuk melakukan pembaruan (desire to improve), perolehan keun-tungan (financial gain), dorongan k-e-butuhan (necessity or need), hasrat un­tuk berprestasi (desire to achieve), bangga pekerjaan (part of work), pres-tise, dan alasan altruistik demi kebaikan semata (altruistic reasons).

Di antara delapan alasan tersebut, motivasi untuk memperoleh keuntung-an merupakan faktorutama yang men-jadi pendorong seseorang menciptakan karya kreatif yang baru. Sebab, pene­muan baru memiliki nilai komersial dan menghasilkan uangbiladipatenkan dan layak dipasarkan. Ketika berkaca pada kondisi Indone­sia, kita kemudian disodori kenyataan tentang minimnya perhatian bangsa ini terhadap pentingnya hak atas ke­kayaan intelektual (HaKI), khususnya masalah hak paten. Seseorang pernah menulis, kondisi Indonesia ini seperti air raksa di atas bidang datar: menjadi anomali. Secara umum, perhatian ter­hadap paten berciri bergelombang menurun (naik sedikit dan turun terus), lantas menuju ketertinggalan.

Kondisi tersebut setidaknya bisa dili-hatdari statistikjumlah paten domestik, yaitu jumlah paten yang diajukan warga negara Indonesia ke Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Pada 1994, misalnya, jum­lah permintaan paten domestik sekitar 3,15 persen di antara 2.383 total per­mintaan paten domestik dan asing. Dibandingkan sesama negara ASEAN saja, Indonesia menempati posisi paling rendah dalam kepemilik-an hak paten. Meski terjadi kenaikan jumlah pencatatan paten pada 1997 dan 1998,masing-masing 159 dan 202 paten, persentasenya sangat rendah dibandingkan jumlah paten yang diajukan pihak asing ke Indonesia.

Dalam hal komersialisasi hasil lit-bang,tingkatkomersialisasi di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi masih relatif rendah. Di seluruh lembaga litbang pemerintah selama 2000-2004, di-antara sejumlah paten yang telah terdaftar, hanya 16 paten yang terkomersialisasi. Sementara itu, selama 2001 -2004, di sektor perguruan tinggi, di-antara 213 fakultas dan lemlit, hanya terdapat dua paten dan delapan produk yang terkomersialisasi.

Faktor yang paling menentukan dari rendahnya kepemilikan HaKI oleh bangsa Indonesia adalah belum tingginy a buday a mencipta bangsa kita, sehingga hasi 1 temuanny a juga sedikit. Budaya itu hanya akan tumbuh dan berkembang apabila pemerintah serta masyarakat memberikan pengakuan dan penghargaan yang layak kepada karya-karya intelektual.

Rendahnya HaKI yang dimiliki bangsa Indonesia juga berkaitan dengan sifat masyarakat kita yang oleh para sosiolog dianggap masih bersifat komunal. Secarafilosofis, HaKI diang­gap merupakan refleksi masyarakat yang indivisualistik.

Penyebab lain adalah adanya ang-gapan bahwa penemuan yang layak dipatenkan hanyalah yang canggih-canggih, biaya pengurusannya mahal, waktu pemprosesannya berbelit-belit dan lama, serta keraguan terhadap hasil temuan yang dipatenkan akan bisa dikomersialkan.

Para peneliti juga-Bering kesulitan merumuskan bahasa teknologi ke dalam bahasa hukum yang harus ditulis secara rinci. Masalah lain adalah belum tercip-tanya mata rantai yang menghubungkan peneliti dan dunia usaha di Indonesia.

Indonesia banyak menanggung keru-gian akibat rendahnya kesadaran mema-tenkan hasil penelitian. Salah satunya, membuat banyak potensi pendapatan yang seharusny a didapatkan dari roy alti terbang ke luar negeri.

Padahal, banyak negara yang memiliki keterbatasan sumber daya alam justru kaya raya hanya dari royalti barang yang menjadi hak patennya. Itu masih ditambah banyaknya ahli yang memilih bekerjadi luar negeri karena pemerintah dianggap kurang menghargai keahlian serta profesionalisme mereka.

Jadi, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis. Yaitu, meningkatkan kesadaran publik tentang arti dan fungsi paten/HaKI. Sasaran so-sialisasi adalah berbagai lapisan dan kalangan masyarakat, terutama kalang-an peneliti. Hal itu penting untuk lebih menghargai para pihak yang telah bersusah payah bekerja dan mengada-kan penelitian, namun akhirnya tidak mendapatkan hasil memadai.

* Fajar Aprianto, mahasiswa Fisipol UGM

Persoalan Hak Cipta

Persoalan Hak Cipta,

Jangan Salahkan Perajin

Berbicara Hak Cipta dan Desain mebel ukir Jepara, sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan, kecuali harus saling memiliki kesadaran atas fungsi dan tugas masing-masing dalam bidang terkait. Jika ada berberapa pihak yang secara sengaja menyalahkan para perajin Jepara karena tidak ada respon (apatis) terhadap persoalan tersebut, tentu tidak seluruhnya dapat dibenarkan.

Menurut Ketua LSM Celcius yang konsen terhadap Lingkungan dan Seni Budaya, Didid Endro S. Persoalan Hak Cipta dan Desain serta yang lainnya adalah persoalan intelektual. Lalu bagaimana para perajin bisa mengerti jika tidak ada penjelasan tentang hal ini ? Lalu, tugas siapa untuk mensosialisasikan tentang arti penting Hak Cipta dan substansi hukumnya.

Jika memang sudah disosialisasikan, kepada siapa saja disosialisasikan atau benarkah sudah melibatkan masyarakat perajin kelas bawah? Selain itu, siapa yang mensosialisasikan atau minimal sudah mengertikah petugas penyuluh tentang prinsip-prinsip Hak Cipta, Desain, dan seterusnya? Karena disadari atau tidak, para perajin hanyalah sebatas melakukan produksi sesuai kebutuhan pasar. Hal ini tentunya untuk memenuhi tuntutan perut mereka berikut para tukang yang bekerja di sana.

Kemudian, hal yang lebih ironis lagi adalah, perkembangan produksi mebel ukir di Jepara sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, bahkan sampai akan kembali lagi memasuki grafik penurunan produksi ( kelesuan), tetapi kenapa baru sekarang persoalan Hak Cipta, Desain atau yang lainnya dibahas ? Jika demikian, masihkah sampai hati menyalahkan perajin?

Mungkin akan menjadi lebih bijak jika di awal kejayaan Jepara di bidang mebel ukir, sudah diantisipasi dengan berbagai kebijakan yang pada intinya memberikan perlindungan terhadap karya-karya seni tradisional yang ada, berikut perkembangan serta inovasinya. Lebih dari itu, mungkin perlu adanya kebijakan tentang perlindungan industri, apapun bentuknya. Karena pada dasarnya, seni tradisi tidak mandek begitu saja. Melainkan selalu mengalami proses perkembangan seiring dengan perkembangan jaman.

“Saya berharap, perajin jangan terlalu disalahkan. Tetapi mari kita saling interospeksi diri, siapa yang lebih berkewenangan dalam hal terkait. Kalau hanya menyalahkan perajin, tentu bukan sikap yang arif atau bahkan dapat dikatakan hanya sekedar mencari kambing hitam karena kita tidak mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi” tegas Ketua LSM Celcius, Didid Endro S.

Seperti ketika munculnya kasus pelanggaran Hak Cipta mebel ukir Jepara yang dilakukan oleh orang asing beberapa waktu lalu, lanjut Didid, para perajin Jepara sangat antusias dan merespon baik. Justeru sebaliknya, dari institusi terkait tidak menunjukkan sikap responsif yang baik. Bahkan dalam kasus tersebut banyak fihak yang belum faham tentang substansi hukumnya, baik penegak hukum maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Hal ini terbukti, ketika menyebutkan Hak Cipta masih dianggap sama dengan Paten. Sementara antara Hak Cipta dengan Paten jelas-jelas sangat jauh berbeda substansinya. Bahkan Undang-undangnya pun juga berbeda. Apalagi, surat somasi yang dikirim oleh orang asing kepada salah satu pengusaha di Jepara yang kemudian berlanjut pada Laporan Polisi, juga menyebut pelanggaran Hak Cipta atas Desain. Tetapi kenapa proses hukum tetap dilanjutkan hingga ada korban-korban lain.

“Ini salah satu bukti bahwa sebenarnya kita sendiri belum sepenuhnya memahami tentang Undang-undang Hak Cipta yang ada. Jadi jangan dulu menyalahkan siapapun jika kita sendiri belum memahami persoalan yang ada”, tambah Didid.

Kemudian Lembaga Seni Budaya (Lesbumi)) NU Jepara menuturkan bahwa keinginan perajin untuk tetap melindungi dan melestarikan meubel ukir Jepara sebenarnya sangat tinggi, hanya saja terbentur pada sosialisasi yang tidak merata dan kurang mengena di masyarakat tingkat bawah sebagai produsen mebel ukir yang ada. Hal itu bisa di lihat masih banyak pelaku bisnis meubel ukir yang tidak paham dan kurang mengerti akan arti pentingnya Hak Cipta serta hak-hak terkait di dalamnya.

“Ini lebih pada persoalan pemahaman, bukan berarti tidak pedulu tetapi mereka benar-benar belum mengerti”, tandas Koordinator Program PC. Lesbumi, Ali Rozi,SN

Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk lagi, Ali Rozi mengharapkan adanya jalinan kerja sama yang baik antara institusi terkait dengan perajin dan masyarakat untuk menghindari persaingan bisnis yang tidak sehat ditingkatan bawah sehingga kulitas produk tetap terjaga. *** Didid Endro S.

Patih Sunging Badhar Dhuwung

Patih Sungging Badhar Dhuwung

Sebuah Penggalan Sejarah

BERBICARA kelahiran kerajinan tangan seni mebel ukir di Jepara, tentu tidak akan melupakaan salah satu sosok pahlawan serta pemuka agama ketika dulu. Beliau adalah Syeh Muhayat Syah (sekarang dikenal dengan Sultan Hadlirin) kenapa demikian ? Berikut sedikit penggalan sejarahnya yang mungkin berguna bagi semuja kalangan masyarakat.

Syeh Muhayat Syah adalah seorang dari Aceh, ia berguru ke negeri Cina Daratan dan di sana ia diambil anak angkat oleh dua orang ahli dalam strategi perang dan mereka adalah kakak beradik yaitu Thae Lin Sing dan Chiwi Guan.

Setelah merasa cukup berguru di Cina Daratan, Muhayat Syah pun hendak pulang ke negerinya. Akan tetapi dalam perjalanannya, ia bersama 4 kapal yang memuat periuk asli dari Dynasti Yuan terdampar di perairan Jepara. Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya di bumi Jepara, terdengar ada sayembara yang konon diselenggarakan oleh Retno Kencono, seorang Putri cantik jelita dan pemberani.

Isi sayembara tersebut adalah “sopo sing iso ngalahno aku, yen lanang aku bakal suwito sak lawase yen wadon tak daku sedulur sinoro wedi” (barang siapa yang bisa mengalahkannya, kalo laki-laki akan dijadikan suami dan kalao perempuan akan diangkat menjadi saudara kandungnya)

Mendengar ada sayembara, Syeh Muhayat Syah menyamar sebagai orang biasa dan mencoba mengikuti sayembara tersebut. Al hasil, ia memenangkan sayembaranya Retno Kencono. Tak lama kemudian mereka pun menikah, dan singkat cerita Syeh Muhayat Syah menjadi Sultan dengan nama Sultan Hadlirin dan Retno Kencono menjadi Ratu dengan Julukan Ratu Kalinyamat yang masih dikenang hingga sekarang.

Sejarah Ukir Jepara

Lalu bagaimana kaitannya Sultan Hadlirin dengan sejarah terjadinya kerajinan tangan mebel ukir di Jepara ? Sebenarnya bukan Sultan Hadlirin yang membawa atau yang mengawali kerajainan tangan berupa seni ukir, melainkan ayah angkatnya ketika berguru di negeri Cina Daratan.

Setelah Mehayat Syah menjadi Sultan di Jepara, tiba-tiba di Cina Daratan terjadi perang besar dan kedua orang yang ahli dalam strategi perang tersebut teringat akan anak angkatnya, maka dicarilah ia sampai ketemu. Melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Thae Lin Sing dan Chiwi Guan mendengar kabar bahwa anak angkatnya berada di Jepara. Merekapun mencarinya.

Setelah bertemu di Jepara, dikabarkannyalah apa yang sedang terjadi di negerinya sana. Akhirnya, demi keselamatan kedua ayah angkatnya Sultan Hadlirin mempersilahkan mereka untuk tinggal di Jepara.

Karena mereka berdua sama-sama ahli dalam strategi perang, maka Sultan Hadlirin menyarankan kepada Thae Lin Sing untuk menjadi penasehat perang Sunan Kudus (sekarang lebih dikenal dengan julukan Kyai Tlingsing). Sedang Chiwi Guan dipilih untuk menjadi patih di Jepara.

Tanpa dikira, ternyata Chiwi Guan juga ahli memahat di batu putih. Karena itu ia mendapat gelar Patih Sungging Badhar Dhuwung (ahli pahat batu putih). Semenjak itulah akhirnya Badhar Dhuwung sering membuat perabotan rumah tangga dan perkantoran pada jamannya (meja – kursi) bermaotifkan ukiran. Nampaknya keahlian dan kebiasaan Patih Sungging Badhar Dhuwung tersebut hingga sekarang masih melekat di titisan masyarakat Jepara, bahkan kerajinan tangan seni mebel ukir menjadi salah satu nafas kehidupan bagi masyarakat Jepara.

Bentuk peninggalan sejarah Patih Sungging Badhar Dhuwung adalah motif ukiran batu putih yang sekarang masih melekat pada dinding masjid mantingan (Astana Sultan Hadlirin)

KASUS HAK CIPTA -lanjutan-

Kegagalan Negara

Lindungi Hak Cipta atas Folklor

Sebuah Apresiasi Celcius terhadap pernyataan Penyidik Polres Jepara

Pada penyidikan lanjutan Hari Senin, 1 Juni 2006

Ø Berkaitan dengan pernyataan Penyidik bahwa belum ditemukannya unsur pidana dalam pasal 72 tentang pelanggaran dalam pasal 10, Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dapat diartikan bahwa penyidik belum memahami dengan baik dan benar Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dan tidak taat asas khususnya asas Legalitas Formal yang merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Formal. Asas Legalitas Formal adalah semua perbuatan dikatakan tindak pidana jika telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ø Padahal dalam pasal 72 ayat (1) Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta[1], sangat jelas mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pelanggaran Hak Cipta atas folklor sebab dalam pasal 2 ayat (1)[2] jelas menyebutkan bahwa negara adalah pemegang Hak Cipta secara otomatis mewakilki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatr setempat, sebagaimana yang dipertegas dalam pasal 10 ayat (1), (2), dan (3).[3] Sedangkan analogi folklor yang dimaksud pasal 10, sangat tegas dijelaskan dalam pasal 12.[4] Sungguh memprihatinkan dan sangat kita sesalkan jika dianggap tidak ada unsur pidana dalam pasal 72 tersebut.

Ø Perbuatan eksploitasi terhadap Hak Cipta atas folklor sebagai kearifan lokal oleh mahkluk asing, merupakan perampokan kekayaan budaya yang diwarisi secara turun temurun yang oleh masyarakat merupakan perbuatan tercela dan melanggar nilai-nilai moral yang diyakini dan hidup dalam masyarakat, yang merupakan dasar lahirnya asas legalitas materiil. Sikap Penyidik yang tidak taat pada asas Legalitas Formal yang menjamin kepastian hukum, saya meyakini juga tidak taat pada asas Legalitas Materiil, padahal asas ini merupakan asas yang menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Sebab asas ini merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Materiil, yaitu semua tindakan perbuatan dinyatakan tindak pidana apabila dianggap melanggar rasa keadilan masyarakat dan tercela oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( melanggar norma-morma kemasyarakatan)

Ø Dasar dari penerapan asas ini adalah pasal 5 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang pada intinya mengakui adanya hukum materiil sipil sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dipertegas lai dalam pasal 23 ayat (2) Undang Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya menegaskan bahwa Hakim diwajibkan memberikan alas an-alasan berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai sumber untuk mengadili. Demikian pula pada pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Ø Kehadiran mahkluk asing yang memporak porandakan tatanan budaya dan harmonisasi masyarakatn local telah melanggar hak-hak social masyarakat yang paling mendasar. Hak-hak mendasar tersebut merupakan Hak Cipta yang terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.[5]



[1] Lihat Pasal 72 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

[2] Lihat Pasal 2 ayat (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[3] Lihat Pasal 10 ayat (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ayat (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buykan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.

[4] Lihat Pasal 12 ayat (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, senji patung, kolase, dan seni terapan

[5] Lihat Penjelasan atas Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, halaman 63.

KASUS HAK CIPTA MEBEL UKIR

KRONOLOGIS

KRONOLOGIS

DUGAAN EKSPLOITASI FOLKLOR JEPARA

OLEH CHRISTOPHER HARRISON – INGGRIS

1. Pada pertengahan tahun 2005, ada kejadian yang menimpa salah satu pengusaha Jepara, Muhammad Salim, yang dilaporkan ke Polres Jepara dengan tuduhan talah menjiplak Hak Cipta dan Desain milik PT. Harrison & Gil Java Semarang

2. Pada tahun yang sama juga ada pengusaha asing (Belanda) yang disomasi oleh kuasa hukum PT. Harrison untuk menghentikan produksi karena juga dianggap menjiplak Hak Cipta dan Desain milik PT. tersebut.

3. Dari itu, bulan Desember 2005, LSM Celcius melakukan audiensi dengan Komisi B DPRD Jepara terkait dengan kasus tersebut. yang kemudian dilanjutkan audiensi dengan Bupati Jepara pada tanggal 02 Januari 2006.

4. Hasil audiensi menyatakan bahwa kasus tersebut tidak seharusnya terjadi, karena mebel ukir sudah ada sejak turun temurun.

5. Setelah mendapatkan buku katalog milik PT. Harrison & Gil, Celcius melakukan observasi ke beberapa perajin Jepara untuk membuktikan bahwa mayoritas perajin Jepara sudah membuat produk seperti dalam katalog milik PT. Harrison sejak puluhan tahun lalu sebelum katalog tersebut didaftarkan Hak Ciptanya.

6. Pernyataan beberapa perajin tersebut juga disampaikan secara tertulis dalam bentuk surat pernyataan

7. Celcius juga menemukan katalog lain yang beredar secara umum di Jepara sejak tahun 1998. Secara kebetulan katalog lama tersebut juga memuat beberapa gambar yang sama seperti dalam buku katalog milik PT. Harrison.

8. Kemudian Celcius juga melakukan audiensi dengan Direktur Hak Cipta Dep. Hukum dan HAM, Drs Hosan, bahwa buku katalog milik PT. Harrison & Gil benar sudah didaftarkan Hak Ciptanya.

9. Hak Cipta yang dimiliki PT. Harrison adalah Hak Cipta atas buku katalog.

10. Dari sinilah, karena merasa memiliki Hak Cipta (meski hanya Hak Cipta atas buyku katalog), dan ditafsirkan berlebihan sehingga barang siapa yang membuat produk seperti dalam katalognya akan dituntut dengan tuduhan penjimpalakan Hak Cipta.

11. Mulai dari sini, Celcius kemudian sering melakukan audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Jepara hingga belasan kali, tetapi hingga saat ini belum ada pengambilan kebijakan terkait dengan kasus ini.

12. Padahal berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa :

- Gambar-gambar figura cermin yang ada dalam katalog tersebut, sebagian besar sudah diproduk oleh masyarakat Jepara sejak puluhan tahun sebelumnya dan hal ini dilakukan secara turun temurun

- Dalam katalog tertera price lock (kunci harga), sehingga memudahkan buyer untuk mengetahui harga produk yang ada. (-ini bukti monopoli)

- Pengusaha Jepara yang dilaporkan ke polisi tersebut, sejak pertengahan tahun 2005 hingga sekarang pengusaha tersebut belum bisa bekerja dan barang-barang tertumpuk di gudang seperti sampah. Hal ini karena ketakutan

13. Hasil tidak tertulis, Kunjungan ke Kantor Dirjen Haki,:

- Bahwa yang dimiliki oleh Harrison hanyalah Hak Cipta atas buku katalog yang substansi perlindungannya hanya terbatas pada buku katalognya saja dan tidak secara otomatis melindungi isi di dalamnya ( yang merupakan obyek perlindungan desain industri)

- Untuk Hak Cipta, Dirjen HKI tidak pernah mengeluarkan Sertifikat kecuali SURAT PENDAFTARAN CIPTAANBahwa Jepara memang dilindungi dan tidak ada yang bisa menuntut Jepara ketika masyarakatnya membuat barang-barang seperti gambar yang ada dalam katalog tersebut.

- Untuik mendapatkan jawaban tertulis dari pihak Dirjen HKI, harus dikirim pertanyaan tertulis pula.

14. Dari itu, pada bulan Februari 2006, Celcius mengirim surat ke Dirjen Haki menanyakan tentang keabsahan Hak Cipta yang dimiliki PT. Harrison & Gil tetapi tidak mendapat jawaban.

15. Tanggal 25 April 2006, kasus dugaan eksploitasi, komersialisasi dan monopoli folklor Jepara ini dilaporkan ke Polres Jepara oleh LSM Celcius.

16. Tanggal 11 Mei 2006, Celcius mengadakan acara dialog terkait dengan kasus ini di Ruang Serba Guna DPRD Jepara dengan mengahdirkan 100 masyarakat Jepara baik perajin, pengusaha, LSM dal lain-lain dan para pakar, yakni Prof. Drs. SP. Gustami (ISI Yogyakarta), Prof. Dr, Edi Sedyawati (HIPEBTra - Jakarta), Ansori Sinungan, SH. LL.M, Ronggolawe, SH. MH. LL.M (UI Jakarta), Linieke MS Joseph, SH (Praktisi hukum)

17. Tanggal 16 Mei 2006, Celcius mengirim surat lagi tentang Permohonan Pembatalan Hak Cipta yang tembusannya ditujukan ke beberapa Departemen terkait termasuk Departemen Perindustrian. Tetapi tidak ada balasan juga dari Dirjen HAKI, tetapi justeru dari Departemen Perindustrian yang menanggapi surat tersebut

18. Surat dari Departemen Perindustrian

- Tanggal 26 Juni 2006, LSM Celcius menerima surat dari Departemen Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tentang pernyataan dukungan terhadap perlindungan karya-karya budaya lokal Jepara.

- Tanggal 08 Juli 2006, LSM Celcius kembali menerima surat susulan dari Departemen Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tentang Informasi Hak Cipta PT. Harrison & Gil Java.

Dalam surat tersebut disampaikan bahwa setelah menerima surat tembusan dari Celcius, Dirjen IAK telah menyampaikan surat ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM RI Nomor : 630/IAK/VI/2006 dan mendapat jawaban bahwa benar buku katalog milik PT. Harrison & Gil telah terdaftar dalam Daftra Ciptaan Dirjen HKI di bawah Nomor 028070 tanggal 14 Juni 2004, dan yang dilindungi dalam pendaftaran ini adalah “buku katalog” dan bukan isinya (sebagai obyek perlindungan desain industri)

19. Sejak Februari 2007 lalu, Cristhoper sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Jepara. Tetapi hingga sekarang belum ada kejelasan tentang tindak lanjutnya.

20. Tanggal 26 April 2007, Celcius bersama 100 orang melakukan aksi peduli Hak Cipta dalam rangka Hari HKI se dunia

21. Dalam acara audiensi dengan Gubernur Jawa Tengah yang diterima Wagub; disarankan agar Pemkab Jepara segera membuat Perda tentang perlindungan industri.

ANALISIS SINGKAT

1. Siapapun boleh membuat katalog mebel ukir

2. Cristhoper Harrison dan PT. Harrison & Gil Java telah melakukan kebohongan publik yakni :

- Hak Cipta yang ia miliki hanyalah atas buku katalog tetapi dalam praktiknya dia mengakui memiliki Hak Cipta dan Desain Produk gambar yang ada serta melarang pihak lain memproduk gambar-gambar yang ada dengan tuduhan menjiplak Hak Cipta dan Desain Produk miliknya

- NomorAgenda Pendaftaran : C00200400863 tertanggal 14 Juni 2004, diakui sebagai nomor sertifikat Hak Cipta. (tertera jelas dalam surat somasi) PADAHAL Dirjen HKI tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk Hak Cipta Kecuali SURAT DAFTAR CIPTAAN

3. Kebohongan publik tersebut digunakan untuk kepentingan memperkaya diri dengan cara menggugat siapa saja yang memproduksi barang-barang seperti dalam katalognya – termasuk pengusaha Jepara –

4. Katalog yang didaftarkan hak ciptanya oleh Harrison ternyata banyak memuat unsur folklor Jepara. Karena gambar dalam katalog tersebut kebanyakan sudah dibuat dan membudaya di masyarakat Jepara sejak puluhan tahun lalu sebelum didaftarkan Hak Ciptanya oleh PT. Harrison & Gil.

5. Harrisson telah melakukan eksploitasi, komersialisasi, dan memonopoli kebudayaan Jepara berupa seni kerajinan tangan mebel ukir untuk kepentingan pribadi, sehinga buyer-buyer lain tidak akan membeli produk ke Jepara melainkan ke PT. Harrison.

6. Benarkah Nomor : 028070 adalah nomor SURAT PENDAFTARAN CIPTAAN ? karena dalam kopian SURAT PENDAFTARAN CIPTAAN yang diperoleh LSM Celcius, terdapat pula Nomor : B251653.

Mana yang disebut Nomor SURAT PENDAFTARAN CIPTAAN dan mana yang Nomor AGENDA PENDAFTARAN ?

PENGAMBILAN SIKAP

Menanggapi permasalahan tersebut, nampaknya Pemerintah Kabupaten Jepara masih setengah hati dalam pengambilan sikap. Terbukti. dari beberapa kali melakukan audiensi baik dengan Bupati maupun dengan DPRD, hingga sekarang belum ada kejelasan bagaimana sikap Pemkab dalam menghadapai permasalahan ini. Bahkan ketika Celcius diundang untuk memaparkan permasalahan ini dihadapan Ass II, tiba-tiba dibatalkan tanpa ada alasan yang jelas. Terhadap permasalahan ini, kami memohon adanya kejelasan dukungan dari Pemerintah atas nama Negara sebagai pemegang Hak Cipta atas folklor. Lalu mekanisme apa yang akan dilakukan dalam upaya perlindungan budaya ini?

Jika memang Pemkab tidak mendukung perlindungan budaya ini, kami juga memohon agar diterbitkan surat pernyataan bahwa Pemkab tidak mendukung upaya perlindungan budaya ini.

Kenapa demikian…………………………………………………………???

Karena :

1. Hal ini akan berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jepara yang mayoritas bergelut di bidang mebel ukir

2. Mebel Ukir adalah merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara

3. Jika orang asing dibiarkan melakukan eksploitasi kebudayaan, maka tak ubahnya kita menjual seluruh yang ada dalam wilayah ini, termasuk keberadabannya. Karena seni budaya adalah lambang keberadaban.