“Perlindungan Aset Budaya
Terhadap Eksploitasi Asing”
Kasus-kasus yang terjadi seputar eksploitasi asing terhadap benda budaya atau dapat dikatakan sebagai aset budaya bangsa Indonesia sudah sampai pada satu titik yang mengkhawatirkan. Merujuk pada kasus pertikaian antara dua warganegara asing yang sejatinya adalah murni persaingan bisnis, telah menjadi sorotan sejumlah kalangan karena objek yang dipersengketakan sangat sensitif, yaitu komoditas ukir-ukiran khas Jepara.
Hal yang sama, menimpa pula pada pengrajin perak Bali yang terhambat karena tuduhan pelanggaran design produk industri yang telah didaftarkan oleh John Hardy Group atas design motif asli Bali sendiri! Sebenarnya kasus-kasus ini bukan hal yang baru, menengok pada dekade sebelumnya ketika terjadi komersialisasi atas rekaman musik tradisional Indonesia oleh Smithsonian.
Bercermin dari semua pengalaman pahit tersebut, ternyata folklor, seperti pula halnya traditional knowledge, asal Indonesia dengan nilai komersialisasi yang dilirik oleh pihak asing, ternyata sudah sedemikian rupa menjadi suatu ancaman, apabila tidak disikapi dengan tanggap. Ihwal tersebut telah memposisikan folklor itu sendiri sebagai aset bangsa yang patut mendapat perhatian. Inilah yang menjadi bahasan utama dalam Focus Discussion Group yang diadakan oleh Sekretariat Wakil Presiden bekerja sama dengan IIPS (Indonesian Intellectual Property Society) dan ISI (Institut Seni Indonesia), di Hotel Jayakarta Yogyakarta tanggal 13 November 2008.
Sebenarnya secara normatif, telah ada upaya dari pemerintah Indonesia sendiri untuk melindungi aset budaya tersebut. Menilik pada ketentuan UUHC, adanya pasal 10 UUHC sebenarnya telah memberikan tempat bagi perlindungan warisan purba yang diyakini sebagai milik bangsa dan berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak luar. Orang selain warganegara Indonesia berkewajiban untuk meminta izin atas pemanfaatannya, sebagaimana halnya objek yang mendapat perlindungan dalam rezim Hak Cipta. Perlindungan terhadap folklor secara konsep, sebenarnya tidaklah pararel dengan perlindungan Hak Cipta yang individualistik dan monopolistik.
Dikotomi ini tidak menghalangi Indonesia untuk tetap pada sikapnya menjaga aset berharganya dengan “pasal titipan” tersebut. Tantangan asing terhadap eksistensi pasal ini patut dicermati, apalagi ternyata fenomena eksploitasi asing kini semakin nyata.
Diskusi yang dihadiri oleh kalangan LSM, akademisi dan instansi pemerintahan ini, bertujuan untuk membangun suatu ide yang konstruktif dengan hasil yang konkret. Perlu adanya restorasi terhadap sikap dan pemahaman masyarakat Jepara sendiri bahwa keunikan daerahnya patut untuk diperjuangkan. LSM-Celcius yang selama ini sangat berempati terhadap nasib para pengerajin setempat perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Komitmen yang diharapkan adalah terbentuknya sinergi antara instansi pemerintah, LSM dan akademisi dalam memulihkan kembali rasa percaya diri dari pengerajin Jepara untuk tidak ragu lagi meneruskan aktivitas berkreasi yang menjadi kekhasan dan haknya sejak dahulu.
Dalam kesempatan ini, Ketua LSM Celcius, Didid Endro S, melalui makalahnya lebih merujuk antara Perlindungan Budaya VS Kebijakan Pemerintah dan Penegak Hukum. Dalam penjelasannya, Didid menyampaikan, upaya-upaya perlindungan budaya yang dilakukan akan menjadi tidah jelas atau bahkan mubadzir ketika tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah dan ketegasan para penegak hukum yang terlibat dalam penyelesaiannya.
Hal ini terbukti ketika terjadi eksploitasi, komersialisasi dan monopoli karya budaya masyarakat Jepara berupa mebel ukir oleh orang asing, Cristhoper Guy Harrison dengan mengakui Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Sehingga ketka orang Jepara membuat produk-produk tersebut menjadi tergugat dengan tuduhan menjiplak Ha Cipta dan Desain Produk milik Harrison.
Terjadinya kasus ini, tentu diperlukan keterlibatan pemerintah sebagai pemegang Hak Cipta atas folklor seperti dalam pasal 10 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kemudian, karena kasus ini sudah masuk dalam ranah hukum, tentu para penegak hukum juga harus benar-benar memahami substansinya sehingga benar-benar bersikap tegas dalam keputusannya.
"Saya menjadi kahawatir ketika eksploitasi seperti ini dibiarkan begitu saja, lama-lama bahasa kita juga akan diklaim oleh orang asing, trus kita menjadi gagu tidak bisa ngomong apa-apa karena takut dituntut dengan tuduhan menjiplak Hak Cipta orang asing juga" ungkap Didid mengakhiri makalahnya di hadapan 40 audience dari berbagai unsur.
Menurutnya, terpidananya warga Belanda, Peter Nicolas Zaal, yang sebelumnya juga bersitegang dengan Harrison persoalan Hak Cipta dan Desain Produk folklor Jepara tersebut, merupakan salah satu contoh korban klaim Hak Cipta dan Desain Produk yang dilakukan oleh Harrison. Sudah barang tentu, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada masyarakat Jepara yang membuat produk seperti dalam katalognya Harrison, yang meskipun itu adalah karya-karya budaya masyarakat Jepara sendiri.
Selanjutnya, sebagai salah satu langkah pengembalian Hak Cipta atas folklor Jepara, Celcius diharapkan mengirimkan surat ke pemerintah Inggris tentang keberatan masyarakat Jepara terhadap eksploitasi yang dilakukan Harrison. Tentu setelah terbentuk resortasi di Jepara seperti yang diprogramkan Sekretariat Wakil Presiden dua bulan mendatang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar