Perlindungan Budaya
VS
Kebijakan Pemerintah dan Penegak Hukum
Oleh : Didid Endro S.
Seni budaya adalah bahasa universal yang mampu dijadikan penyelaras segala bentuk persoalan secara fleksibel dan bijaksana. Bahkan di sepanjang sejarah manusia, seni budaya selalu menjadi benang merah acuan. Artinya, bahwa secara tidak sadar tata kehidupan manusia diwarnai dengan nilai-nilai seni budaya yang ada.
Selain itu, tata kehidupan manusia mulai jelas kelihatan carut marut ketika terjadi pertemuan dua kutub yang berbeda. Yakni benturan antara kutub yang sudah jauh menembus tata kehidupan modernis dengan kutub yang masih saja terlelap dalam keterbelakangan di segala aspek. Akibat benturan-benturan ini melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang ambigu (pontang-panting) karena kebat kliwat mengejar gaya medern.
Hal ini menjadi sangat berbahaya baik secara pribadi maupun profesi. Karena ketika manusia pada kondisi ambigu, akan melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari konteks kemanusiaan. Seperti misal munculnya sifat homo homonilupus (kecenderungan menganggap orang lain sebagai saingan atau musuh yang harus dikalahkan atau dibunuh sekalipun dengan cara apapun).
Secara prinsip, budaya leluhur yang dalam kurun waktu tertentu menjadi dasar tata kehidupan manusia, sebenarnya lebih mengutamakan pada tatanan hidup yang selaras, serasi, dan seimbang baik sesama manusia, alam, dan Tuhan, juga homo homonisosius yakni anggapan bahwa orang lain adalah teman dan saudara.
Dari berbagai benturan ini, selain melahirkan ambigu, kelompok-kelompok masyarakat lara ati karena tidak mampu melakukan penyesuaian diri (empaty) terhadap pola-pola medernis, juga akan melahirkan pula penyakit-penyakit kronis yang dalam istilah metropolisnya disebut kram otak. Ironisnya, orang-orang yang sedang terjangkit penyakit kram otak ini justeru menjadi penentu kebijakan dalam segala aspek, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun kenegaraan (pemerintahan).
Sehingga tidak mengherankan jika dalam perjalannya melahirkan jenis-jenis atau model produk yang bersifat ambiguisme. Misalnya saja kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan kemanusiaan (masyarakat) yang secara otomatis menimbulkan keretakan dan kerusakan harmonisasi dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan pelaksanaan tata pemerintahan baik di daerah maupun di tingkat pusat.
Dalam sejarah, pemetakan budaya setidaknya terbagai menjadi tiga bagian yakni mitos sebagai sentral budaya kemudian kultus dan menginjak pada era fungsional budaya seperti saat sekarang. Pada era fungsional budaya atau budaya yang difungsikan, siapapun yang memiliki kekuasaan dan kekayaan mampu menciptakan budaya-budaya baru untuk kepentingannya. Seperti halnya bangga melakukan kesalahan, bangga melakukan korupsi dan lain sebagainya tetapi yang paling tragis adalah bangga berbuat dosa dan bangga atas kebodohannya. Lalu akan dikemanakan bangsa dan negeri tercinta ini?
Dari sinilah keberpijakan perlunya diadakan revolusi budaya (moral force) untuk menuju negeri yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem kerta raharja. Di mana ada atau terpenuhinya sinergitas moral bangsa serta pencitraan kondusifitas negeri. Kemudian revolusi budaya ini juga merupakan gerakan nurai secara nasional dan wajib hukumnya kalau tidak ingin negeri ini tergadaikan.
Tentu bukan hal yang ngoyo woro jika revolusi budaya ini dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang berbudaya pula. Sehingga hal ini menjadi hajatan nasional untuk kepentingan yang lebih besar dan tidak serta merta melupakan hal-hal lain sekecil apapun. Yakni terwujudnya partisipasi masyarakat dan anggotanya dalam menentukan kebijakan tersebut.
Selanjutnya, penciptaan budaya secara implisit menjadi tanggung jawab para kreator budaya (budayawan dan seniman) untuk lebih aktif berpartisipasi melalui berbagai karya-karya nyata yang jelas dan berani bukan sekedar karya-karya impian (kejar popularitas). Karena penciptaan budaya-budaya baru yang dilakukan oleh penguasa dan kaum kapitalis hanya terbatas pada kepentingan politis dan profit oriented dan tidak mencerminkan sikap apresiatif terhadap nilai-nilai budayanya.
Jika kreator budaya pada akhirnya tidak mampu pula melakukan revolusi budaya, maka kita akan terkurung pada era terdahulu yang kolot dan terjadi pemasungan-pemasungan kreatifitas. Sepertinya berlari ngos-ngosan, tetapi sebenarnya tidak beranjak kemana-mana. Boleh mata tertutup, tetati hati tetap terbuka.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah di sini trekandung maksud bukan mengarah pada penciptaan budaya baru atas “keperkasaannya”, melainkan adanya upaya perlindungan dan pelestarian aset-aset budaya yang ada sebagai pencitraan atau jati diri pada masing-masing daerah tertentu. Pelestarian budaya tradisional bukan berarti harus statis, melainkan diperlukan pula inovasi-inovasi tertentu guna penyesuaian pada perkembangan jaman serta untuk menambah daya tarik penikmatnya.ketika dipertunjukkan atau dipamerkan.
Selain itu, pemerintah juga semestinya tidak bersikap apatis, masa bodoh, acuh tak acuh atau apapun namanya yang identik dengan ketidakpedulian terhadap adanya eksploitasi nilai-nilai budaya yang ada oleh pihak asing. Tetapi pemerintah harus mampu menampilkan “keperkasaannya”.
Seperti yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, khusunya di Kabupaten Jepara, peran pemerintah dalam menentukan sikap terhadap terjadinya monopoli, komersialisasi, dan ekploitasi folklor berupa mebel dan ukir tidak begitu signifikan. Bahkan terkesan tidak peduli, masa bodoh dan tidak merasa kecolongan.
Sikap seperti inilah seharusnya tidak terjadi pada tubuh pemerintahan yang berbudaya. Apalagi sudah sangat jelas bahwa mebel dan ukir merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara. Secara ekonomis, hal ini akan berdampak besar terhadap perkembangan industri mebel ukir di Jepara. Kemudian secara social, akan timbul gejolak-gejolak yang mengarah pada penciptaan iklim tidak kondusif karena banyaknya pengangguran.
Ironisnya, realitas seperti tersebut, kelangkaan bahan baku menjadi kambing hitam. Tentu ukir Jepara menjadi mati suri, artinya para pengukir sudah tinggal kaum marginal/buruh kasar mirip buruh tani yang terpental dari produksi pertanian karena juragan meubel lebih mendominasi mengepul produk mereka, mengatur design ukiran mereka, sementara mereka hanya dibayar murah layaknya tukang jahit.
Hal yang sama juga terjadi di Institusi Pemerintah Pusat khususnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang begitu mudah menerima permohonan Daftar Ciptaan buku catalog yang memuat gambar-gambar mebel ukir Jepara tanpa melihat latar belakang kepentingan pemohon. Sehingga setelah terbit Surat Daftar Ciptaan berupa buku catalog tersebut, pemilik Hak Cipta menafsirkan berlebihan mengaku memiliki Hak Cipta sekaligis Desain Produk semua jenis gambar yang ada di dalamnya.
Klaim tersebut lalu digunakan untuk menggugat warga Jepara yang membuat produk sama seperti dalam katalognya dengan tuduhan menjiplak atau mencuri Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Kejadian ini berlangsung sangat lama hingga menyisakan trauma pada masyarakat Jepara.
Lebih konyol lagi ketika kasus tersebut diproses hukum dan pelaku dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Jepara, muncul lagi keanehan atau keunikan yang bersumber dari Direktorat Jendaeral HKI. Keunikan tersebut berupa pernyataan dari salah satu staf dirjen HKI di hadapan penyidik Polda Jawa Tengah bahwa berkas permohonan Hak Cipta oleh Cristhoper Harrison telah hilang.
Meskipun penyidikan di Polda Jawa Tengah terpisah dengan persoalan di Polres Jepara, akan tetapi sangat berpengaruh pada proses hukum selanjutnya karena tidak dapat diketahui berkas-berkasnya. Lalu siapa yang harus bertangungjawab atas semua ini? Pun tak ada yang berani menjawabnya. Sehingga masyarakat Jepara tetaplah menjadi korban atas klaim Hak Cipta atas folklornya sendiri serta korban atas “pelacuran moral” oknum yangt tidak bertanggungjawab. Apapun alasannya, hal ini harus dituntaskan meski oleh siapapun orangnya.
Penegak Hukum
Dalam persoalan Hak Cipta dan penuntasan kasusnya, tentu harus dilengkapi para penegak hukum yang memahami tentang substansi Hak Cipta bukan sekedar sentilan jemari kecil belaka. Hak ini terlihat jelas ketika pada proses hukum mulai berjalan, masih banyak penegak hukum yang salah menafsirkan. Hak Cipta selalu disebut sebagai Paten. Padahal secara substansial jelas sangat berbeda dan Undang-undangnyapun juga berbeda.
Selain itu, ditambah lagi dengan penyidik yang menyatakan bahwa belum ditemukan unsur pidana dalam undang-undang tersebut. Tentu ini sangat melukai hati siapapun yang mendengarnya.
VS
Kebijakan Pemerintah dan Penegak Hukum
Oleh : Didid Endro S.
Seni budaya adalah bahasa universal yang mampu dijadikan penyelaras segala bentuk persoalan secara fleksibel dan bijaksana. Bahkan di sepanjang sejarah manusia, seni budaya selalu menjadi benang merah acuan. Artinya, bahwa secara tidak sadar tata kehidupan manusia diwarnai dengan nilai-nilai seni budaya yang ada.
Selain itu, tata kehidupan manusia mulai jelas kelihatan carut marut ketika terjadi pertemuan dua kutub yang berbeda. Yakni benturan antara kutub yang sudah jauh menembus tata kehidupan modernis dengan kutub yang masih saja terlelap dalam keterbelakangan di segala aspek. Akibat benturan-benturan ini melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang ambigu (pontang-panting) karena kebat kliwat mengejar gaya medern.
Hal ini menjadi sangat berbahaya baik secara pribadi maupun profesi. Karena ketika manusia pada kondisi ambigu, akan melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari konteks kemanusiaan. Seperti misal munculnya sifat homo homonilupus (kecenderungan menganggap orang lain sebagai saingan atau musuh yang harus dikalahkan atau dibunuh sekalipun dengan cara apapun).
Secara prinsip, budaya leluhur yang dalam kurun waktu tertentu menjadi dasar tata kehidupan manusia, sebenarnya lebih mengutamakan pada tatanan hidup yang selaras, serasi, dan seimbang baik sesama manusia, alam, dan Tuhan, juga homo homonisosius yakni anggapan bahwa orang lain adalah teman dan saudara.
Dari berbagai benturan ini, selain melahirkan ambigu, kelompok-kelompok masyarakat lara ati karena tidak mampu melakukan penyesuaian diri (empaty) terhadap pola-pola medernis, juga akan melahirkan pula penyakit-penyakit kronis yang dalam istilah metropolisnya disebut kram otak. Ironisnya, orang-orang yang sedang terjangkit penyakit kram otak ini justeru menjadi penentu kebijakan dalam segala aspek, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun kenegaraan (pemerintahan).
Sehingga tidak mengherankan jika dalam perjalannya melahirkan jenis-jenis atau model produk yang bersifat ambiguisme. Misalnya saja kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan kemanusiaan (masyarakat) yang secara otomatis menimbulkan keretakan dan kerusakan harmonisasi dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan pelaksanaan tata pemerintahan baik di daerah maupun di tingkat pusat.
Dalam sejarah, pemetakan budaya setidaknya terbagai menjadi tiga bagian yakni mitos sebagai sentral budaya kemudian kultus dan menginjak pada era fungsional budaya seperti saat sekarang. Pada era fungsional budaya atau budaya yang difungsikan, siapapun yang memiliki kekuasaan dan kekayaan mampu menciptakan budaya-budaya baru untuk kepentingannya. Seperti halnya bangga melakukan kesalahan, bangga melakukan korupsi dan lain sebagainya tetapi yang paling tragis adalah bangga berbuat dosa dan bangga atas kebodohannya. Lalu akan dikemanakan bangsa dan negeri tercinta ini?
Dari sinilah keberpijakan perlunya diadakan revolusi budaya (moral force) untuk menuju negeri yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem kerta raharja. Di mana ada atau terpenuhinya sinergitas moral bangsa serta pencitraan kondusifitas negeri. Kemudian revolusi budaya ini juga merupakan gerakan nurai secara nasional dan wajib hukumnya kalau tidak ingin negeri ini tergadaikan.
Tentu bukan hal yang ngoyo woro jika revolusi budaya ini dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang berbudaya pula. Sehingga hal ini menjadi hajatan nasional untuk kepentingan yang lebih besar dan tidak serta merta melupakan hal-hal lain sekecil apapun. Yakni terwujudnya partisipasi masyarakat dan anggotanya dalam menentukan kebijakan tersebut.
Selanjutnya, penciptaan budaya secara implisit menjadi tanggung jawab para kreator budaya (budayawan dan seniman) untuk lebih aktif berpartisipasi melalui berbagai karya-karya nyata yang jelas dan berani bukan sekedar karya-karya impian (kejar popularitas). Karena penciptaan budaya-budaya baru yang dilakukan oleh penguasa dan kaum kapitalis hanya terbatas pada kepentingan politis dan profit oriented dan tidak mencerminkan sikap apresiatif terhadap nilai-nilai budayanya.
Jika kreator budaya pada akhirnya tidak mampu pula melakukan revolusi budaya, maka kita akan terkurung pada era terdahulu yang kolot dan terjadi pemasungan-pemasungan kreatifitas. Sepertinya berlari ngos-ngosan, tetapi sebenarnya tidak beranjak kemana-mana. Boleh mata tertutup, tetati hati tetap terbuka.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah di sini trekandung maksud bukan mengarah pada penciptaan budaya baru atas “keperkasaannya”, melainkan adanya upaya perlindungan dan pelestarian aset-aset budaya yang ada sebagai pencitraan atau jati diri pada masing-masing daerah tertentu. Pelestarian budaya tradisional bukan berarti harus statis, melainkan diperlukan pula inovasi-inovasi tertentu guna penyesuaian pada perkembangan jaman serta untuk menambah daya tarik penikmatnya.ketika dipertunjukkan atau dipamerkan.
Selain itu, pemerintah juga semestinya tidak bersikap apatis, masa bodoh, acuh tak acuh atau apapun namanya yang identik dengan ketidakpedulian terhadap adanya eksploitasi nilai-nilai budaya yang ada oleh pihak asing. Tetapi pemerintah harus mampu menampilkan “keperkasaannya”.
Seperti yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, khusunya di Kabupaten Jepara, peran pemerintah dalam menentukan sikap terhadap terjadinya monopoli, komersialisasi, dan ekploitasi folklor berupa mebel dan ukir tidak begitu signifikan. Bahkan terkesan tidak peduli, masa bodoh dan tidak merasa kecolongan.
Sikap seperti inilah seharusnya tidak terjadi pada tubuh pemerintahan yang berbudaya. Apalagi sudah sangat jelas bahwa mebel dan ukir merupakan salah satu nafas kehidupan masyarakat Jepara. Secara ekonomis, hal ini akan berdampak besar terhadap perkembangan industri mebel ukir di Jepara. Kemudian secara social, akan timbul gejolak-gejolak yang mengarah pada penciptaan iklim tidak kondusif karena banyaknya pengangguran.
Ironisnya, realitas seperti tersebut, kelangkaan bahan baku menjadi kambing hitam. Tentu ukir Jepara menjadi mati suri, artinya para pengukir sudah tinggal kaum marginal/buruh kasar mirip buruh tani yang terpental dari produksi pertanian karena juragan meubel lebih mendominasi mengepul produk mereka, mengatur design ukiran mereka, sementara mereka hanya dibayar murah layaknya tukang jahit.
Hal yang sama juga terjadi di Institusi Pemerintah Pusat khususnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang begitu mudah menerima permohonan Daftar Ciptaan buku catalog yang memuat gambar-gambar mebel ukir Jepara tanpa melihat latar belakang kepentingan pemohon. Sehingga setelah terbit Surat Daftar Ciptaan berupa buku catalog tersebut, pemilik Hak Cipta menafsirkan berlebihan mengaku memiliki Hak Cipta sekaligis Desain Produk semua jenis gambar yang ada di dalamnya.
Klaim tersebut lalu digunakan untuk menggugat warga Jepara yang membuat produk sama seperti dalam katalognya dengan tuduhan menjiplak atau mencuri Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Kejadian ini berlangsung sangat lama hingga menyisakan trauma pada masyarakat Jepara.
Lebih konyol lagi ketika kasus tersebut diproses hukum dan pelaku dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Jepara, muncul lagi keanehan atau keunikan yang bersumber dari Direktorat Jendaeral HKI. Keunikan tersebut berupa pernyataan dari salah satu staf dirjen HKI di hadapan penyidik Polda Jawa Tengah bahwa berkas permohonan Hak Cipta oleh Cristhoper Harrison telah hilang.
Meskipun penyidikan di Polda Jawa Tengah terpisah dengan persoalan di Polres Jepara, akan tetapi sangat berpengaruh pada proses hukum selanjutnya karena tidak dapat diketahui berkas-berkasnya. Lalu siapa yang harus bertangungjawab atas semua ini? Pun tak ada yang berani menjawabnya. Sehingga masyarakat Jepara tetaplah menjadi korban atas klaim Hak Cipta atas folklornya sendiri serta korban atas “pelacuran moral” oknum yangt tidak bertanggungjawab. Apapun alasannya, hal ini harus dituntaskan meski oleh siapapun orangnya.
Penegak Hukum
Dalam persoalan Hak Cipta dan penuntasan kasusnya, tentu harus dilengkapi para penegak hukum yang memahami tentang substansi Hak Cipta bukan sekedar sentilan jemari kecil belaka. Hak ini terlihat jelas ketika pada proses hukum mulai berjalan, masih banyak penegak hukum yang salah menafsirkan. Hak Cipta selalu disebut sebagai Paten. Padahal secara substansial jelas sangat berbeda dan Undang-undangnyapun juga berbeda.
Selain itu, ditambah lagi dengan penyidik yang menyatakan bahwa belum ditemukan unsur pidana dalam undang-undang tersebut. Tentu ini sangat melukai hati siapapun yang mendengarnya.
Hal ini dapat diartikan bahwa penyidik belum memahami dengan baik dan benar Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dan tidak taat asas khususnya asas Legalitas Formal yang merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Formal.
Asas Legalitas Formal adalah semua perbuatan dikatakan tindak pidana jika telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Padahal dalam pasal 72 ayat (1) Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta[1], sangat jelas mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pelanggaran Hak Cipta atas folklor sebab dalam pasal 2 ayat (1)[2] jelas menyebutkan bahwa negara adalah pemegang Hak Cipta, secara otomatis mewakilki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatr setempat, sebagaimana yang dipertegas dalam pasal 10 ayat (1), (2), dan (3).[3]
Sedangkan analogi folklor yang dimaksud pasal 10, sangat tegas dijelaskan dalam pasal 12.[4] Sungguh memprihatinkan dan sangat kita sesalkan jika dianggap tidak ada unsur pidana dalam pasal 72 tersebut.
Perbuatan eksploitasi terhadap Hak Cipta atas folklor sebagai kearifan lokal oleh mahkluk asing, merupakan perampokan kekayaan budaya yang diwarisi secara turun temurun yang oleh masyarakat merupakan perbuatan tercela dan melanggar nilai-nilai moral yang diyakini dan hidup dalam masyarakat, yang merupakan dasar lahirnya asas legalitas materiil.
Sikap Penyidik yang tidak taat pada asas Legalitas Formal yang menjamin kepastian hukum, dapat diyakini pula tidak taat pada asas Legalitas Materiil, sebagai asas yang menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Asas ini kuga merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Materiil, yakni semua tindakan perbuatan dinyatakan tindak pidana apabila dianggap melanggar rasa keadilan masyarakat dan tercela oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( melanggar norma-morma kemasyarakatan)
Dasar dari penerapan asas ini adalah pasal 5 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang pada intinya mengakui adanya hukum materiil sipil sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dipertegas lagi dalam pasal 23 ayat (2) Undang Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya menegaskan bahwa Hakim diwajibkan memberikan alasan-alasan berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai sumber untuk mengadili.
Demikian pula pada pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kehadiran mahkluk asing yang memporak porandakan tatanan budaya dan harmonisasi masyarakatn lokal telah melanggar hak-hak socsial masyarakat yang paling mendasar. Hak-hak mendasar tersebut merupakan Hak Cipta yang terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right).
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.[5]
------------------------------------------------------------------
[1] Lihat Pasal 72 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
[2] Lihat Pasal 2 ayat (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3] Lihat Pasal 10 ayat (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ayat (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buykan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.
[4] Lihat Pasal 12 ayat (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, senji patung, kolase, dan seni terapan
[5] Lihat Penjelasan atas Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, halaman 63.
Asas Legalitas Formal adalah semua perbuatan dikatakan tindak pidana jika telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Padahal dalam pasal 72 ayat (1) Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta[1], sangat jelas mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pelanggaran Hak Cipta atas folklor sebab dalam pasal 2 ayat (1)[2] jelas menyebutkan bahwa negara adalah pemegang Hak Cipta, secara otomatis mewakilki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatr setempat, sebagaimana yang dipertegas dalam pasal 10 ayat (1), (2), dan (3).[3]
Sedangkan analogi folklor yang dimaksud pasal 10, sangat tegas dijelaskan dalam pasal 12.[4] Sungguh memprihatinkan dan sangat kita sesalkan jika dianggap tidak ada unsur pidana dalam pasal 72 tersebut.
Perbuatan eksploitasi terhadap Hak Cipta atas folklor sebagai kearifan lokal oleh mahkluk asing, merupakan perampokan kekayaan budaya yang diwarisi secara turun temurun yang oleh masyarakat merupakan perbuatan tercela dan melanggar nilai-nilai moral yang diyakini dan hidup dalam masyarakat, yang merupakan dasar lahirnya asas legalitas materiil.
Sikap Penyidik yang tidak taat pada asas Legalitas Formal yang menjamin kepastian hukum, dapat diyakini pula tidak taat pada asas Legalitas Materiil, sebagai asas yang menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Asas ini kuga merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Materiil, yakni semua tindakan perbuatan dinyatakan tindak pidana apabila dianggap melanggar rasa keadilan masyarakat dan tercela oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( melanggar norma-morma kemasyarakatan)
Dasar dari penerapan asas ini adalah pasal 5 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang pada intinya mengakui adanya hukum materiil sipil sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dipertegas lagi dalam pasal 23 ayat (2) Undang Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya menegaskan bahwa Hakim diwajibkan memberikan alasan-alasan berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai sumber untuk mengadili.
Demikian pula pada pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kehadiran mahkluk asing yang memporak porandakan tatanan budaya dan harmonisasi masyarakatn lokal telah melanggar hak-hak socsial masyarakat yang paling mendasar. Hak-hak mendasar tersebut merupakan Hak Cipta yang terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right).
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.[5]
------------------------------------------------------------------
[1] Lihat Pasal 72 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
[2] Lihat Pasal 2 ayat (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3] Lihat Pasal 10 ayat (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ayat (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buykan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.
[4] Lihat Pasal 12 ayat (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, senji patung, kolase, dan seni terapan
[5] Lihat Penjelasan atas Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, halaman 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar