Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 atau setidaknya pada Agustus tahun ini sudah mencapai usia kemerdekaan yang ke 64. Sungguh bukan waktu yang pendek untuk melakukan interospeksi dan mawas diri. Tapi benarkah waktu yang pendek pula untuk ukuran pendewasan sebuah negeri ? Tentu tak ada yang mampu menjawab, karena kedewasaan sebuah negeri tergantung pada kearifan para punggawanya.
Lalu bagaimana terhadap pelaksanaan ketatanegaraan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Mungkin pertanyan ini lebih tidak mampu lagi di cari jawabannya. Karena peraturan perundang-undangan hanya bisa dibaca tapi sulit diterjemahkan bahkan oleh yang paling pakar sekalipun.
Mungkin saat ini penulis sedang terjebak dalam lingkar mimpinya yang ruwet tentang rasa keadilan yang selama ini nyata di depan mata sehingga harus berpikir dan mencari yang sesungguhnya. “Itupun kalau mampu menemukannya”.
Tidak sesederhana yang kita bayangkan tentang keadilan yang cukup dengan “pembagian” yang rata, “perlakuan dan perhatian” yang sama dan “jatah-jatah” lain yang harus di sama ratakan. Tetapi ada hal lain yang mesti diperjuangkan dan disempurnakan yakni proporsional dan prefesionalisme sehingga semua hal tidak digarap secara awur-awuran bagaimana layaknya ramalan cuaca yang semakin menjenuhkan.
Ternyata kita harus secara sadar dan suka rela menengok kayak apa susahnya kaum miskin di pinggiran kota, para petani yang pupus harapan lantaran harga pupuk melambung dan para nelayan yang kehilangan ikan tangkapan karena habis disedot blower PLTU. Ternyata kesadaran dan keihlasan itu belum ada sama sekali. Kemudian korupsi seolah dibiarkan merajalela di mana-mana. Ironis…
Semua hal yang diturunkan ke mereka (Rakyat) semata-mata hanya lantaran “proyek” dari pusat negeri bukan atas inisiatif para pegawai (baca: Pejabat) - entah sadar atau tidak – yang justeru menghabiskan uang rakyat. “Lho, iyo to. Mereka itu kan digaji”
Kapolres meluncur dengan mobil mewah bercahaya, kaca tertutup rapat pertanda di dalamnya hawa dingin AC mulai menyentuh sungsum. Tak bergeming melihat dan mendengar keluh kaum papa di kolong jembatan yang ia lewatinya. Lalu , Bupati berserta rombongan bergulir ke pelosok dengan sirine mengaung membangunkan bayi-bayi yang pulas mendekur, mengingatkan janji terdahulu tentang kemakmuran dan kesejahteraan.
Dari sebuah cerita dan denging sirine mengabarkan bahwa ini hanyalah “puitika keadilan” yang kita tak perlu banyak berharap atas kehadirannya. Sebab, keadilan hanya untuk mereka yang berbusana raja dan memiliki kekuasaan untuk mengumbar kata keadilan dan kemakmuran. Penegak hukum pun kadang lupa bahwa hukumnya sudah roboh sejak dia dijadikan penegaknya, begitulah seterusnya.
Agar dapat benar-benar tegak, mungkin para penegak hukumnya tidak harus sekolah terlalu tinggi agar pemikirannya sederhana dan praktis. Atau mungkin mereka harus dihilangkan nafsunya. Ah……….itu tidak mungkin, sebab mereka bukanlah malaikat dan kita harus sadar itu. Enak to……………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar