Selasa, 01 September 2009

Perlindungan Folklor Jepara

TINJAUAN KRITIS TERHADAP
PERLINDUNGAN FOLKLOR
DI KABUPATEN JEPARA
Oleh : Didid Endro S.

“Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti : cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. (pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002)

Kemudian dijelaskan pula bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
Sedang folklor dimaksudakan adalah sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh sekelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standard an nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Mengacu dari hal di atas, sebenarnya sudah semakin jelas dan terbuka bahwa Pemerintah memiliki peran penting dalam upaya perlindungan dan pelestarian nilai-nilai budaya yang ada. Peran Pemerintah di sini terkandung maksud bahwa secara substansif pemerintah sebagai pemegang Hal Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Dengan demikian pemegang Hak Ciptalah yang semestinya berupaya keras atas kembalinya karya cipta yang dimilikinya ketika terjadi eksploitasi dari pihak asing.
Seperti yang terjadi di Jepara misalnya. Beberapa produk seni kerajikan mebel ukir maupun asesoris lainnya telah dicuri Hak Cipta dan Desain Produknya oleh pengusaha asing asal Inggris, Cristhoper Harrison. Akibat dari klaim Hak Cipta tersebut, tentu akan berpengaruh pada penurunan produktifitas industri kerajinan mebel ukir di Jepara serta mematikan market mebel ukir Jepara di maca negara.
Kejadian ini bermula dari sikap orang asing yang mendaftarkan buku katalog ke Kantor Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Pusat di Jakarta. Buku katalog yang didaftarkan oleh orang asing tersebut memuat gambar mirror frame (figura cermin), mebel dan asesoris lain bermotifkan ukiran yang sudah berkembang dan membudaya di Jepara sejak berpuluh tahun sebelum buku katalog tersebut didaftarkan Hak Ciptanya.
Setelah mendapatkan Surat Daftar Ciptaan dari Kantor HAKI, orang asing tersebut memaknainya terlalu berlebihan sehingga menganggap memiliki Hak Cipta serta Desain Produk seluruh gambar yang ada di dalamnya. Hal ini terbukti ketika ada salah satu pengusaha Jepara yang memproduk barang-barang seperti dalam katalog tersebut dilaporkan ke pihak Kepolisian dengan tuduhan penjiplakan Hak Cipta dan Desain Produk miliknya. Bahkan salah satu pengusaha asing juga menjadi korban atas klaim tersebut.
Selain akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan industri mebel ukir Jepara, klaim Hak Cipta tersebut juga dapat menimbulkan gejolak sosial yang sangat tinggi. Kemudian juga akan berdampak pula pada pelestarian budaya bangsa yang secara prinsip memiliki nilai ekonomi tinggi. Artinya, sikap orang asing yang seperti ini tentu sangat berpotensi atas kerusakan dan kepunahan karya budaya masyarakat yang merupakan warisan leluhur.
Kendati demikian, nilai ekonomi yang terkandung dalam karya budaya masyarakat tersebut menjadi tidak tampak akibat kurangnya kepedulian serta pemahaman pemerintah terhadap eksistensinya. Tentu menjadi sangat naib jika hal serupa tidak segera terselesaikan dengan baik. Ada perbedaan yang sangat menyolok memang antara orang asing dengan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah penghargaan terhadap hak intelektual. Orang asing sangat menghargai karya cipta orang lain sementara di negeri kita belum tampak atau bahkan tidak ada sama sekali penghargaan terhadap itu.

Penegakan Hukum
Dalam upaya perlindungan karya budaya masyarakat, tentu tidak bisa lepas dari proses penegakkan hukum yang ada. Akan tetapi, terkait dengan pemahaman terhadap Hak Cipta atas folklor, mungkin perlu dilakukan persamaan persepsi agar tidak terjadi ketimpangan dalam penyelesaian ketika terjadi permasalahan.
Selama ini masih terjadi kesalahan fatal para penegak hukum dalam terhadap substansi Hak Cipta. Mereka masih menganggap Hak Cipta adalah Paten. Padahal secara prinsip sangat berbeda jauh. Hal ini terbukti ketika muncul kasus eksploitasi dan komersialisasi folklor Jepara oleh orang asing.
Selama empat tahun ini, kasus tersebut belum bisa terselesaiakan dengan baik. Ini suatu bukti bahwa penegakan hukum tentang Hak Cipta belum pula mendapatkan tempat yang baik pula di mata hukum Indonesia. Selain itu, UUHC yang ada juga belum sepenuhnya memberikan fasilitas kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu gerakan jika terjadi pencurian-pencurian Hak Cipta atas folklor. Bahkan folklor dalam rezim HAKI hanya sebagai pelengkap kekosongan hukum belaka.
Selanjutnya, mungkin perlu adanya aksi riil terhadap eksistensi folklor dalam rezim HAKI. Salah satunya yang paling utama adalah refisi Undang-undang Hak Cipta yang sudah sekian tahun belum diterbitkan pula PP sebagai acuan pelaksanaannya. Sebagai masyarakat yang peduli terhadap karya budaya tradisional dan ekspresi budaya tradisional lainnya, tentu menjadi sangat khawatir jika hukum di Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan eksploitasi dan komersialisasi karya budaya masyarakat di daerah-daerah yang memiliki kekhasan seni budaya tradisional.
Mandeknya kasus yang dilaporkan di Polres Jepara, juga merupakan tambahan bukti tentang belum adanya penegakkan hukum yang pasti terhadap kasus pencurian atau klaim Hak Cipta atas folklor Jepara. Apalagi kebijakan pihak Direktotar Jenderal HAKI yang menerbitkan Surat Daftra Ciptaan serta kemudian menghilangkan berkas permohonan Hak Cipta milik Cristhoper Harrison.
Bukan suatu hal yang ngoyo woro jika pada akhirnya muncul asumsi atau pertanyaan dari masyarakat yang peduli terhadap karya-karya budaya tradisional “ada apa dengan HAKI”. Dari kejadian tersebut, untuk penuntasan kasus pencurian Hak Cipta atas folklor Jepara tentu pihak Direktorat HAKI harus lebih bisa ambil peranan dalam upaya pembatalan atau pencabutan Hak Cipta milik Cristhoper Harrison. Jika tidak, siapa yang harus bertangungjawab atas semua ini? Pun tak ada yang berani menjawabnya. Sehingga masyarakat Jepara tetaplah menjadi korban klaim Hak Cipta atas folklornya sendiri serta korban atas “pelacuran moral” oknum yang tidak bertanggungjawab. Apapun alasannya, hal ini harus dituntaskan meski oleh siapapun orangnya.
Selanjutnya, demi masyarakat Jepara dan seluruh bangsa Indonesia, kami menunggu komitmen Dirjen HKI. ***

Penulis adalah :
Art & theatre director Gaperto Art Community
Ketua LSM CELCIUS (lingkungan dan seni budaya)
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim PC NU Jepara
Tinggal di Jepara

Tidak ada komentar: