Sabtu, 20 September 2008

PERLINDUNGAN HUKUM

Perlindungan Hukum atas Kekayaan Intelektual

Oleh Fajar Aprianto *

IDE yang lahir dari intelektualitas seseorang pada dasarnya merupakan kekayaan intelektual. Sangat penting dilindungi oleh hukum agar tidak "di-rampas" orang lain. Upaya pemberian perlindungan hukum terhadap pemilik/ penemu ide baru dikenal dengan istilah hak paten.

Dengan memiliki hak paten, penemu/ peneliti memiliki hak monopoli selama waktu tertentu atas penemuannya. Orang lain tidak diperkenankan mengopi tanpa ada kompensasi untuk penemunya. Selain itu, hak paten diupayakan me-lindungi investasi yang telah digunakan dalam penelitian dan pengembangan suatu produk. proses dan pengembang­an teknologinya. Suatu penemuan baru yang telah diberikan hak patennya harus diungkapkan kepada masyarakat, se-hinggaorang lain bisamempelajarinya.

Dengan demikian, hak paten bisa memperkay a pengetahuan masyarakat. Masyarakat pun bisa menggunakannya secara bebas, apabila paten tersebut sudah tidak berlaku.

Pengakuan atas penemuan itu pada saat yang sama akan mendukung per- j tumbuhan karya intelektual. Menurut i hasil survei terhadap 710 penemu (in-1 ventor) di AS mengenai motivasi pene-j mu itu sehingga menghasilkan karya-, karya inovatif, terdapat delapan moti-1 vasi. Yakni, kesenangan melakukan kegiatan penemuan (love a/inventing), hasrat untuk melakukan pembaruan (desire to improve), perolehan keun-tungan (financial gain), dorongan k-e-butuhan (necessity or need), hasrat un­tuk berprestasi (desire to achieve), bangga pekerjaan (part of work), pres-tise, dan alasan altruistik demi kebaikan semata (altruistic reasons).

Di antara delapan alasan tersebut, motivasi untuk memperoleh keuntung-an merupakan faktorutama yang men-jadi pendorong seseorang menciptakan karya kreatif yang baru. Sebab, pene­muan baru memiliki nilai komersial dan menghasilkan uangbiladipatenkan dan layak dipasarkan. Ketika berkaca pada kondisi Indone­sia, kita kemudian disodori kenyataan tentang minimnya perhatian bangsa ini terhadap pentingnya hak atas ke­kayaan intelektual (HaKI), khususnya masalah hak paten. Seseorang pernah menulis, kondisi Indonesia ini seperti air raksa di atas bidang datar: menjadi anomali. Secara umum, perhatian ter­hadap paten berciri bergelombang menurun (naik sedikit dan turun terus), lantas menuju ketertinggalan.

Kondisi tersebut setidaknya bisa dili-hatdari statistikjumlah paten domestik, yaitu jumlah paten yang diajukan warga negara Indonesia ke Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Pada 1994, misalnya, jum­lah permintaan paten domestik sekitar 3,15 persen di antara 2.383 total per­mintaan paten domestik dan asing. Dibandingkan sesama negara ASEAN saja, Indonesia menempati posisi paling rendah dalam kepemilik-an hak paten. Meski terjadi kenaikan jumlah pencatatan paten pada 1997 dan 1998,masing-masing 159 dan 202 paten, persentasenya sangat rendah dibandingkan jumlah paten yang diajukan pihak asing ke Indonesia.

Dalam hal komersialisasi hasil lit-bang,tingkatkomersialisasi di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi masih relatif rendah. Di seluruh lembaga litbang pemerintah selama 2000-2004, di-antara sejumlah paten yang telah terdaftar, hanya 16 paten yang terkomersialisasi. Sementara itu, selama 2001 -2004, di sektor perguruan tinggi, di-antara 213 fakultas dan lemlit, hanya terdapat dua paten dan delapan produk yang terkomersialisasi.

Faktor yang paling menentukan dari rendahnya kepemilikan HaKI oleh bangsa Indonesia adalah belum tingginy a buday a mencipta bangsa kita, sehingga hasi 1 temuanny a juga sedikit. Budaya itu hanya akan tumbuh dan berkembang apabila pemerintah serta masyarakat memberikan pengakuan dan penghargaan yang layak kepada karya-karya intelektual.

Rendahnya HaKI yang dimiliki bangsa Indonesia juga berkaitan dengan sifat masyarakat kita yang oleh para sosiolog dianggap masih bersifat komunal. Secarafilosofis, HaKI diang­gap merupakan refleksi masyarakat yang indivisualistik.

Penyebab lain adalah adanya ang-gapan bahwa penemuan yang layak dipatenkan hanyalah yang canggih-canggih, biaya pengurusannya mahal, waktu pemprosesannya berbelit-belit dan lama, serta keraguan terhadap hasil temuan yang dipatenkan akan bisa dikomersialkan.

Para peneliti juga-Bering kesulitan merumuskan bahasa teknologi ke dalam bahasa hukum yang harus ditulis secara rinci. Masalah lain adalah belum tercip-tanya mata rantai yang menghubungkan peneliti dan dunia usaha di Indonesia.

Indonesia banyak menanggung keru-gian akibat rendahnya kesadaran mema-tenkan hasil penelitian. Salah satunya, membuat banyak potensi pendapatan yang seharusny a didapatkan dari roy alti terbang ke luar negeri.

Padahal, banyak negara yang memiliki keterbatasan sumber daya alam justru kaya raya hanya dari royalti barang yang menjadi hak patennya. Itu masih ditambah banyaknya ahli yang memilih bekerjadi luar negeri karena pemerintah dianggap kurang menghargai keahlian serta profesionalisme mereka.

Jadi, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis. Yaitu, meningkatkan kesadaran publik tentang arti dan fungsi paten/HaKI. Sasaran so-sialisasi adalah berbagai lapisan dan kalangan masyarakat, terutama kalang-an peneliti. Hal itu penting untuk lebih menghargai para pihak yang telah bersusah payah bekerja dan mengada-kan penelitian, namun akhirnya tidak mendapatkan hasil memadai.

* Fajar Aprianto, mahasiswa Fisipol UGM

Tidak ada komentar: