Sabtu, 20 September 2008

KASUS HAK CIPTA -lanjutan-

Kegagalan Negara

Lindungi Hak Cipta atas Folklor

Sebuah Apresiasi Celcius terhadap pernyataan Penyidik Polres Jepara

Pada penyidikan lanjutan Hari Senin, 1 Juni 2006

Ø Berkaitan dengan pernyataan Penyidik bahwa belum ditemukannya unsur pidana dalam pasal 72 tentang pelanggaran dalam pasal 10, Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dapat diartikan bahwa penyidik belum memahami dengan baik dan benar Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, dan tidak taat asas khususnya asas Legalitas Formal yang merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Formal. Asas Legalitas Formal adalah semua perbuatan dikatakan tindak pidana jika telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ø Padahal dalam pasal 72 ayat (1) Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta[1], sangat jelas mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pelanggaran Hak Cipta atas folklor sebab dalam pasal 2 ayat (1)[2] jelas menyebutkan bahwa negara adalah pemegang Hak Cipta secara otomatis mewakilki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatr setempat, sebagaimana yang dipertegas dalam pasal 10 ayat (1), (2), dan (3).[3] Sedangkan analogi folklor yang dimaksud pasal 10, sangat tegas dijelaskan dalam pasal 12.[4] Sungguh memprihatinkan dan sangat kita sesalkan jika dianggap tidak ada unsur pidana dalam pasal 72 tersebut.

Ø Perbuatan eksploitasi terhadap Hak Cipta atas folklor sebagai kearifan lokal oleh mahkluk asing, merupakan perampokan kekayaan budaya yang diwarisi secara turun temurun yang oleh masyarakat merupakan perbuatan tercela dan melanggar nilai-nilai moral yang diyakini dan hidup dalam masyarakat, yang merupakan dasar lahirnya asas legalitas materiil. Sikap Penyidik yang tidak taat pada asas Legalitas Formal yang menjamin kepastian hukum, saya meyakini juga tidak taat pada asas Legalitas Materiil, padahal asas ini merupakan asas yang menjamin tegaknya keadilan di masyarakat. Sebab asas ini merupakan dasar dari penerapan sifat melawan Hukum Materiil, yaitu semua tindakan perbuatan dinyatakan tindak pidana apabila dianggap melanggar rasa keadilan masyarakat dan tercela oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ( melanggar norma-morma kemasyarakatan)

Ø Dasar dari penerapan asas ini adalah pasal 5 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang pada intinya mengakui adanya hukum materiil sipil sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Kemudian, dipertegas lai dalam pasal 23 ayat (2) Undang Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya menegaskan bahwa Hakim diwajibkan memberikan alas an-alasan berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai sumber untuk mengadili. Demikian pula pada pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Ø Kehadiran mahkluk asing yang memporak porandakan tatanan budaya dan harmonisasi masyarakatn local telah melanggar hak-hak social masyarakat yang paling mendasar. Hak-hak mendasar tersebut merupakan Hak Cipta yang terdiri atas hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.[5]



[1] Lihat Pasal 72 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

[2] Lihat Pasal 2 ayat (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[3] Lihat Pasal 10 ayat (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Ayat (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang buykan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.

[4] Lihat Pasal 12 ayat (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup : (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, senji patung, kolase, dan seni terapan

[5] Lihat Penjelasan atas Undang Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Media Abadi, Yogyakarta, 2005, halaman 63.

Tidak ada komentar: